Pages

Thursday, December 8, 2011

Apa yang bisa dibanggakan dari semua itu?

Apakah Anda bangga bangsa ini menempati urutan atas pengguna jasa komunikasi maya? Sebagai pengguna Facebook terbesar kedua di dunia, terbesar ketiga untuk Twitter. Pengguna telepon seluler meningkat pesat dari tahun ke tahun. Lalu, sejumlah orang terinjak-injak ketika mengantre Blackberry yang dijual separuh harga di Pacific Place, Jakarta.

Itu adalah kalimat pendahuluan di dalam tulisan Bre Redana di Kompas bagian Fokus (Jumat, 9 Desember 2011, halaman 45) yang berjudul Hiperkonsumerisme, Hiperteks, Hipermedia. Penulis artikel ini tidak menjelaskan arti hiperkonsumerisme, tetapi dia menggambarkan bahwa pada saat ini orang-orang telah kehilangan kesadaran atas ruang dan waktu dan mengalami apa yang disebut Benjamin Barber sebagai civic schizophrenia alias kegilaan warga. Dalam zaman kegilaan ini, politik digambarkan menjadi politik waktu luang bagi orang-orang iseng kelas menengah. Para pemimpin juga gencar menampilkan politik pencitraan, yaitu politik yang kehilangan kontak dengan realitas, melalui media massa.

Mengenai hiperteks, penulis artikel ini menggambarkan bahwa hiperteks merupakan konsekuensi dari digitalisasi dari kehidupan sekarang. Pembacaan hiperteks merupakan cara membaca secara berlapis-lapis yang terlihat dari cara orang membaca lewat layar komputer/gadget yang membaca bermacam teks secara bersamaan. Hal ini berbeda dengan membaca linear yang terjadi saat membaca buku, koran, atau majalah. Pembacaan hiperteks, melalui hasil penelitian, memberikan penyerapan akan bacaan lebih rendah dibanding pembacaan secara linear. Hiperteks juga mengakibatkan kita menampung terlalu banyak data berseliweran tanpa mampu menarik hubungan dengan informasi yang sudah ada sebelumnya sehingga kita tidak mampu memiliki cara berpikir koheren, Ketidakmampuan berpikir koheren mengakibatkan kita dipenuhi oleh informasi-informasi sesaat. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh media menjadi gosip. Bagi penulis artikel, analisis politik saat ini sebenanrya hanya rekonstruksi gosip. Di sinilah media cetak, menurut penulis artikel, harus memiliki peranan sebagai media yang dapat mempertahankan sivilisasi.

Lebih lanjut, multitasking disebut penulis artikel sebagai "terampil pada tingkat superfisial". Dia kemudian mengingatkan pembaca bahwa dulu Seneca, filsuf Roma, pernah berkata "berada di mana-mana berarti tidak di mana-mana."
Pada akhir artikel, penulis mengatakan bahwa orang saat ini adalah orang yang memiliki ciri-ciri ketergesa-gesaan dan ketergopoh-gopohan. Penekanannya ada pada kesegeraan sehingga orang selalu memelototi Blackberry untuk mengetahui/memperbarui status terbaru.

"Apanya yang harus dibanggakan dengan itu semua?" Artikel itu diakhiri dengan pertanyaan ini.

Terus terang, saya tertarik dengan isi artikel di koran itu. Saya tertarik karena saya merupakan bagian dari pengguna Facebook dan Twitter di Indonesia. Saya juga pernah menjadi orang yang hampir setiap kegiatan di-update sebagai status di Facebook. (Penulis artikel itu juga ada menulis "...barusan buang angin pun diberitahukan ke seluruh dunia.") Saya juga adalah bagian dari yang disebut oleh penulis artikel itu sebagai orang yang terhubung dengan orang yang jauh di luar lingkungan fisik sosial saya, tetapi kurang memiliki hubungan sosial yang baik dengan orang di sekitar saya. Saya juga adalah orang yang lebih sering menjadi pembaca hiperteks dibanding menjadi pembaca linear. Artikel yang ditulis Bre Redana itu kemudian menjadi menarik karena dapat memberi kritik terhadap diri saya.

Pertanyaan yang kemudian dapat diajukan adalah: bagaimana caranya agar tidak menjadi bagian dari kegilaan warga? Membaca hiperteks tidak salah, tetapi bila hanya lebih banyak membaca hiperteks memang terasa bahwa cara berpikir saya tidak koheren. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang harus saya lakukan agar saya lebih memilih untuk menjadi pembaca linear dibanding menjadi pembaca hiperteks? Lalu pertanyaan paling utama: apa gunanya saya bisa ditemukan di mana-mana di dunia maya; apa yang bisa dibanggakan dari semua itu?

Perpustakaan STT Jakarta
9 Desember 2011
17:02