Tulisan ini bisa jadi merupakan hasil dari sedikit permenungan dari mengikuti kuliah dari Pak Jan Sihar Aritonang dalam beberapa minggu terakhir. Beliau mengajar kuliah Sejarah Gereja dan Teologi Asia. Dari nama mata kuliahnya saja sudah dapat ditebak kalau dalam mata kuliah ini banyak dibicarakan mengenai perkembangan gereja dan teologi di Asia. Dan memang permenunganku ini berhubungan dengan perkembangan gereja di beberapa negara Asia yang direfleksikan dengan perkembangan gereja di Indonesia. Tidak ada gunanya belajar sejarah kalau tidak direfleksikan dengan keadaan kita sendiri.
Dalam beberapa minggu terakhir, di dalam kuliah SGTA ini dibahas tentang perkembangan gereja di beberapa negara ASEAN. Filipina, Myanmar, Kamboja, Vietnam, Thailand, dan yang dibahas hari ini: Malaysia dan Singapura. Bentuk kuliah ini adalah presentasi kelompok dan kemudian ada tambahan dari dosen. Sejujurnya aku sering tidak memerhatikan pemaparan kelompok, tetapi aku selalu memerhatikan pemaparan dari Pak Aritonang. Yang aku tangkap dari pernyataan tambahan dari Pak Aritonang selama beberapa minggu terakhir adalah gereja-gereja di beberapa negara yang telah aku tuliskan di atas memiliki peranan cukup signifikan walaupun mereka termasuk minoritas juga (kecuali Filipina). Gereja di Kamboja, misalnya, terbuka setiap hari untuk kegiatan gereja terhadap masyarakat. Pak Aritonang menceritakan kalau gereja di sana dindingnya tidak ada. Masyarakat yang kebanyakan bukan orang Kristen datang ke gereja untuk menerima penyuluhan yang berhubungan dengan pengembangan masyarakat. Pak Aritonang mengontraskan hal tersebut dengan gereja-gereja di Indonesia yang rata-rata tertutup dan hanya terbuka pada jam tertentu "untuk latihan koor."
Dalam kuliah hari ini Pak Aritonang juga memberikan gambaran peranan orang Kristen di Sabah dan Sarawak terhadap pembangunan di sana. Dalam hal kesehatan, beliau memberikan gambaran bahwa rumah sakit-rumah sakit di Penang dan Malaka, tempat orang Indonesia banyak berobat, adalah rumah sakit yang dimiliki oleh lembaga Kristen.
Gambaran-gambaran tersebut, walaupun sedikit, pada akhirnya membuatku bertanya, "apakah kontribusi kekristenan di Indonesia bagi Indonesia?" Pertanyaan itu sempat aku lontarkan kepada Mas Trisno Sutanto lewat Twitterku. Beliau menjawab, "tentunya banyak sumbangannya, tetapi tidak bisa ditweet." Beliau kemudian menganjurkanku membaca A History of Christianity in Indonesia, buku yang disunting oleh Pak Aritonang, dan buku-buku lain yang berhubungan dengan sejarah dan peran kekristenan. Aku kemudian bertanya, "berarti peran di masa lalu ya, Mas? Perannya sekarang yang sepertinya tertinggal dibanding di negara-negara Asia lainnya."
"Peran sekarang belum didokumentasi dan dikaji, masih tercecer. Kalau mau tahu, harus riset ke lapangan."
Pernyataan menarik, pikirku kemudian. Hal ini sebenarnya bisa saja dijadikan sebagai sebuah topik skripsi. Hanya saja "riset ke lapangan" merupakan hal yang sulit untuk dilakukan oleh mahasiswa STT Jakarta, karena masih kurang tools.
Selain tentang peranan gereja, ada hal lain yang menarik dari negara Malaysia yang by law merupakan negara berdasarkan agama Islam. Pak Aritonang menyebutkan bahwa dalam kejadian berupa pembakaran gereja beberapa waktu lalu yang terjadi di Malaysia, pemerintah Malaysia tidak diam. Pemerintah menangkap dan menghukum para pelaku. Di Indonesia yang bukan negara agama ini?
Lalu apakah pentingnya informasi yang aku sebutkan di atas? Sebuah tulisan sebaiknya diakhiri dengan refleksi. Dan inilah refleksiku: gereja di Indonesia sebaiknya mulai menunjukkan aksi nyatanya melalui kegiatan-kegiatannya yang berguna untuk kemajuan bangsa, bukan hanya untuk perkembangan gereja itu. Aku juga kemudian bertanya pada diriku sendiri, apa yang bisa aku sumbangkan untuk negara ini supaya negara ini bisa menjadi negara yang maju, yang tidak menjadi tertinggal dari negara-negara yang dulunya tidak lebih maju dari negara ini. Dan untuk negara ini, kau mau jadi negara apa? Negara agama kah?
Demikian saja ketikan si pemalas.
Kontrakan Gak Jelas
28 Maret 2011
23:26