Pages

Sunday, October 31, 2010

Foto, Taman Suropati, dan Rumah Dinas Kedutaan

Di dekat Taman Suropati ada orang yang dimintai datanya karena mungkin telah mengambil foto di dekat rumah dinas Kedutaan Besar Amerika Serikat. Aku melihat hal itu sepulang aku mengikuti kebaktian di GPIB Paulus pukul 17.00.

Aku pun pernah mengalami hal yang sama dengan orang yang dimintai datanya itu. Suatu pagi setelah hari Wisuda di tahun 2007, aku membawa kamera digital milik sepupuku yang aku pinjam ke Taman Suropati. Aku mengambil foto di taman itu dan tak lama petugas dari rumah dinas kedubes pun mendatangiku, menanyaiku, dan meminta dataku. Aku bahkan mengambil fotonya (dengan sembunyi-sembunyi) ketika dia sedang mengambil KTP dari tanganku. (Hal ini yang membuatku kadang berpikir kalau aku tinggal di Amerika Serikat, aku mungkin sudah menjadi paparazzi.)

Tentang mengambil foto di dekat rumah Dubes (atau bahkan kantor kedutaan), apakah memang ada larangan? Dan apakah petugas kedutaan besar itu akan mendata semua fotografer bila misalnya ada puluhan atau ratusan fotografer melakukan hunting foto di Taman Suropati?

diketik dalam perjalanan kaki dari GPIB Paulus hingga STT Jakarta
31 Oktober 2010
... - 18.20

Monday, October 25, 2010

#adatBatak

Entah siapa yang membuatku tiba-tiba berpikir tentang adat Batak. Hanya saja semalam aku memang secara acak menulis tentang adat Batak di akun Twitter-ku dengan hash-tag #adatBatak. Sebenarnya tidak penting, tetapi aku pagi ini merasa ini penting untuk disimpan. Siapa tahu nanti aku malah tertarik menulis tentang Injil dan Budaya Batak. Lho kok aku malah lari ke sini? Dan mana tahu ada yang mau memberikan masukan atas ke-sotoy-anku tadi malam.

Kenapa acara adat itu terasa ribet, susah, dan tak penting? IMHO, itu karena kita tidak mengerti maknanya. Itu saja. #adatBatak

Dan sepertinya mengapa kita melakukan ini atau itu dalam acara adat sebenarnya punya makna masing-masing. #adatBatak

The stories behind-the-act of sebuah kegiatan adat akan hilang kalau tidak ada lagi yang mau tahu tentang itu. #adatBatak

Adat Batak itu sebuah seni. // Kenapa saya menjadi super sotoy seperti ini tentang #adatBatak?

Ingat CP I di Bogor waktu itu. Sempat tertarik dengan adat Batak Simalungun yang berbeda dengan adat Batak lainnya. #adatBatak

Dan entah kenapa orang Simalungun itu sepertinya paling mudah mengalah ketika ber'konfrontasi' dengan adat Batak lainnya. #adatBatak

Dan sebuah adat itu bisa berubah karena pernyataan "di sini seperti itu biasanya dibuat." Membuatku berpikir: butuh standarisasi #adatBatak.

Adat itu seperti "rules of playing the game." Berat mengikutinya karena kita tak tahu. Sekali lagi, karena kita tidak tahu. #adatBatak

Dan sumpah, aku tidak tahu sama sekali adat Batak, apalagi adat Batak Simalungun. #adatBatak

Ada yang mempertentangkan adat Batak dengan agama (Kristen). "Hal seperti itu seharusnya tidak perlu lagi," misalnya. #adatBatak

Hanya saja, buatku keberatan seperti itu tidak pas kalau orang tersebut tidak mengerti betul latar sebuah tindakan dalam adat. #adatBatak

Biasanya keberatan seperti itu muncul karena tidak mau ribet. #adatBatak

Kenapa aku meneruskan tweet-tak-penting-ku tentang #adatBatak ini kalau aku sendiri tidak tahu apa-apa? Hadoooooooooooooooooooooooooooohhh..

Sama seperti klaim kebenaran sebuah agama, klaim benar tidaknya sebuah acara adat bersifat subyektif. #adatBatak // Sotoy bet dah gue!

(Lalu aku bertanya kepada beberapa temanku pengguna Twitter yang orang Batak. Reply baru ada dua: dari kakakku dan dari seorang adik kelasku di SMUNSA Medan.)

@vontho satu kata. RIBET! #adatbatak

@vontho adat batak tuh unik,ak bangga jd org batak kak :) tp kalo urusan nikah yg agak ribet,,banyak biaya hehehehe

Hmmm...

KGJ
26 Oktober 2010
09:56

Imprisonment

Pope Clement XI, for example, in 1703 wrote an inscription in the prison in San Michele, Italy that indicates the intended goal of imprisonment, parum est coerce improbos poeono, hisi bonos efficias diciplina. It means "there will be no benefit for putting the wicked in the prison if it does not educate them to become good people and teach them good lessons."

Batara Sihombing, "Co-operation among Churches Doing Mission: A Case Study of Prison Ministry in Indonesia" in Asia Journal of Theology Vol. 24 Number 1 April 2010.

written on Oct 25, 2010 at Perpustakaan.

Thursday, October 21, 2010

Ocehan Tak Jelas

Ini adalah ocehan tak jelas tentang beberapa hal yang menurutku perlu aku tuliskan.

Sial.. baru saja aku akan menuliskan tulisan ini, tetapi sudah ada barrier dari dalam diri sendiri bahwa tulisan ini tidak penting untuk dituliskan. Berarti tulisan ini hanya akan sampai di sini saja.

Topik yang seharusnya bisa dibahas di dalam ocehan tak jelas ini adalah: tentang sistem perpustakaan yang sedikit bermasalah, tentang paduan suara Filipina dihubungkan dengan kegiatan PRPG bulan Agustus lalu, tentang minat membaca di sekolahku, dan tentang menulis.

Apakah topik itu akan aku tulis nanti? Kita lihat saja nanti di blog ini.

Komputer Perpustakaan STT Jakarta
21 Oktober 2010
16:01

Tuesday, October 12, 2010

Sabtu-Rabu

Dalam beberapa hari terakhir ini, ada berbagai hal yang terjadi yang sebenarnya menarik buatku untuk ditulis. Karena sudah terlalu lama dibiarkan tidak ditulis, aku pikir sebaiknya semua hal itu aku gabung saja menjadi satu dalam tulisan ini, dalam bentuk kata-kata:

Sabtu: Ragunan, taksi, BTJ, Grand Indonesia, sms, tidak jadi pulang, nonton fountain show pukul 17.00, keliling-keliling tak jelas, pulang pukul 18.00, nge-pack tas berisi pakaian kotor, jalan kaki ke Stasiun Manggarai pukul 20.00, kereta ternyata tidak beroperasi, makan bihun goreng di Dempo, pulang dan tidur.

Minggu: bangun pagi, jalan kaki berangkat ke Stasiun Manggarai pukul 07.10, kereta pukul 07.20 ternyata tidak beroperasi juga, jalan kaki kembali ke Jalan Proklamasi, naik 502, tiba di Stasiun Tanah Abang pukul 8 lewat, menunggu kereta KRL Ekonomi tujuan Serpong hingga pukul 08.45, aku naik ketika kereta tiba. Hal penting untuk diperhatikan: lebih baik naik KRL daripada naik KRD, karcis KRL lebih murah: Rp1.500 banding Rp3.500. Kereta berjalan, aku memperhatikan seorang bapak tua berambut putih berumur kurang lebih 60an. Dia membaca Koran Jakarta sambil bibirnya bergerak. Tulisan di dalam zipper bag transparan yang dibawanya membuatku mengeluarkan handphoneku untuk mengetik tulisan itu: Deutch vor kindern sicher auebe wahren. Entah apa artinya. Dia turun di Stasiun Pondok Ranji juga sepertiku.

Senin: aku pulang naik KRL Ekonomi tujuan Manggarai pukul 13.53 menurut jadwal, tetapi 14.20 kenyataannya. Aku pulang berniat untuk mengerjakan tugas yang sudah lama terbengkalai. Orang yang berhubungan dengan tugas itu tidak membalas telepon dan smsku hingga aku turun di Stasiun Sudirman dan memutuskan untuk berjalan ke Grand Indonesia untuk menonton film Korea dalam Festival Film Korea yang diselenggarakan di Blitzmegaplex. Pukul 15.30 aku sudah mengambil tiket gratis La Grand Chef 2: Kimchi Battle. Pukul 17.00 aku melakukan sesuatu yang gila yang belum dapat disebutkan di sini. 17.15 aku masuk studio 8 Bitz GI dan menonton. Filmnya sepertinya dibuat untuk mengingatkan generasi muda Korea akan pentingnya menjaga warisan kebudayaan Korea. Seperti biasa, film Korea yang satu ini bisa membuat penontonnya tertawa dan juga menangis. Dan ceritanya menarik.
Setelah menonton, aku tidak langsung pulang. Aku nongkrong di East Mall GI. Hingga akhirnya aku melihat Mas Bagus, Kak Vero, dan Ike berjalan hendak melewati tempat aku duduk. Aku mengikuti mereka dan akhirnya kami mengitari Gramedia GI untuk mencari buku yang hendak dipakai Mas Bagus untuk laporan buku dari dosen, lalu makan mie tarik di area Food Louver setelah pencarian terhadap buku itu dihentikan karena tidak ada. Kami pulang sekitar pukul 22.00.

Selasa: aku datang ke kampus berpikir kalau aku akan mengerjakan pekerjaan yang terbengkalai itu di kampus, ternyata tidak. Aku hanya belajar Bahasa Ibrani II, Makan siang di RM Kito, Nongkrong dengan Debbie dan Yonea di ruang diskusi perpustakaan. Dan aku pergi ke Grand Indonesia. Menonton film Korea lagi: Running Turtle. Film aksi yang mampu menampilkan realita masyarakat kelas bawah; ada unsur menegangkan, humor, dan haru di akhir film.

Rabu: aku sekarang di kampus. Tadi pagi aku minta izin untuk tidak hadir di kelas pagi ini karena badan serasa sangat lemas dan sepertinya akan demam kalau tidak diistirahatkan lebih lama.

Demikian. Sekian.

Perpustakaan STT Jakarta
13 Oktober 2010
13:38

Wednesday, October 6, 2010

Payung

Aku punya seekor payung. Seekor? Aku menyebutnya demikian karena di tangkainya ada tali untuk menentengnya sambil mengayun-ayunkan payung itu. Dan juga ada label mereknya yang tidak aku lepas. Payung itu aku baru saja beli tadi di Giant Megaria. Payung yang lama sudah tidak memadai lagi untuk menahan agar tubuhku tidak basah kuyup ketika hujan deras menjatuhkan diri dari langit.

Payung itu berwarna coklat. Menarik bukan? Payung itu, sama seperti payung-payung yang pernah kumiliki, akan selalu ada di dalam tasku. Sedia payung sebelum hujan, kata pepatah.

Berbicara tentang payung, aku tadi tiba-tiba bertanya-tanya. Kenapa tidak ada produsen yang berani memberikan garansi? Pertanyaan itu kemudian berlanjut dengan pertanyaan, kenapa payungku selalu rusak setelah aku meminjamkan payung itu ke orang lain? Kedua pertanyaan itu ternyata pertanyaan yang tak perlu dijawab.

FYI, harga payung yang aku beli tadi Rp29.900. Murah atau mahal?

Kalasan Dalam 44B
6 Oktober 2010
19:12