Pages

Wednesday, September 30, 2009

Aku, Bapakku, dan Koran

Aku adalah anak laki-laki dari Bapakku. Itu tidak diragukan lagi. Aku dan Bapakku mempunyai kesamaan. Ada pepatah yang mengatakan, "like father like son" atau orang Indonesia menyatakannya dengan "buah tidak jauh jatuh dari pohonnya." Pepatah itu memang menggambarkan bahwa ada kemiripan antara seorang anak dengan Bapaknya. Ada, bukan semuanya mirip.

Salah satu kemiripan yang paling terlihat adalah suka mengoleksi barang-barang yang dianggap orang bisa saja tidak berharga, atau tidak bernilai untuk disimpan. Aku ingat kalau Bapakku mempunyai foto dengan Mamak sewaktu Bapak baru menyelesaikan kuliahnya di STT Jakarta. (Mereka tentunya belum menikah waktu itu.) Di foto itu terlihat ada tumpukan bungkus rokok di atas meja belajar Bapakku. Jumlahnya pasti tidak sedikit, karena sepengetahuan saya Bapakku dulu merokok ketika dia baru mau menulis skripsi. Sepertinya bungkus rokok itu adalah semua bungkus rokoknya selama dia menulis skripsinya.

Selain bungkus rokok itu, ada satu hal yang paling jelas yang masih aku ingat sewaktu kami tinggal di Jalan Cik Di Tiro 55, Medan. Bapakku berlangganan koran Suara Pembaruan (sepertinya dimulai begitu kami baru pindah sebulan dari Sibuntuon pada Agustus 1990). Semua koran yang ada disimpan dan dikumpulkan berdasarkan bulannya. Pada tahun 1996, kalau tidak salah, Mamak sedang berusaha untuk menjual barang-barang bekas yang ada di rumah. Bapak sempat menolak ketika koran-koran yang sudah terkumpul selama 5-6 tahun itu turut hendak dijual oleh Mamak. Pada akhirnya koran-koran itu dijual juga, dengan menyisakan koran beberapa bulan terakhir waktu itu. Alasan Bapakku untuk mengumpulkan koran itu? Manatahu ada yang membutuhkannya nanti suatu saat untuk membuat kliping dari koran-koran itu, katanya.

Kegiatan mengumpulkan barang-barang "tidak penting" seperti yang Bapakku lakukan juga aku lakukan dimulai dari aku kuliah di Bandung. Aku selalu mengumpulkan setiap struk ATM, struk belanja, dan struk apapun ke dalam suatu tempat. Sayangnya semua struk itu hilang dimakan rayap di kamarku di KGJ beberapa tahun lalu. Aku juga mengumpulkan koran seperti Bapakku. Lebih ekstrim dari cara Bapak dulu mengumpulkan, aku biasanya mengumpulkannya dalam keadaan rapi, halaman demi halaman diperhatikan. Semua koran itu pun harus tersusun sesuai dengan tanggalnya. Sebelum aku langganan koran Kompas selama dua belas setengah bulan (Maret 2008-Maret 2009), aku biasanya membeli koran eceran. (Biasanya aku membeli koran yang jumlah halamannya tebal. Koran hari Jumat atau koran dengan ada pembahasan khusus). Koran itu aku urutkan juga berdasarkan tanggal terbitnya.

Apakah alasanku untuk mengumpulkan koran itu? Aku malu menyatakannya di sini. Akan tetapi terjadi perubahan alasan untukku mengumpulkan koran itu, terutama karena jumlahnya yang sudah terlalu banyak. Aku berencana "untuk melakukan yang menurut saya bisa dilakukan dengan koran-koran itu.. yang ada dalam pikiran saya: menggunting dan mengumpulkan bagian Cerpen setiap Sabtu, bagian TTS-nya setiap Minggu, bagian iklan dari Experd (yang kadang ada kadang tidak) setiap hari Sabtu (di bagian Klasika), bagian Kolom Bahasa (yang tidak tentu kapan terbit), bagian Foto Minggu ini (di hari Minggu), bagian foto-foto yang menarik.."* dan seterusnya.

Hanya saja, karena tidak pernah jadi aku lakukan, koran itu pun hanya menumpuk di kamarku. Singkat cerita, aku mendapat ultimatum dari Mamak supaya aku menyingkirkan koran itu (karena menurutnya bisa jadi menjadi penyebab aku sering batuk-batuk beberapa waktu lalu). Awalnya aku ingin memberikannya kepada Tunggul dan teman-teman yang membuat kerajinan dari koran di kampus. Akan tetapi akhirnya ada Aiko dan Bu Ming yang ternyata membutuhkan koran sebagai alas untuk tempat ekskresi anjing-anjing kesayangan mereka. Jadilah kemarin semua koranku yang 13 tumpukan (Maret 2008-Maret 2009) diambil dari tempatku.

tulisan ini berakhir di sini! bingung mau tulis apa lagi..


KGJ
30 September 2009
15:02

*: copy paste from my comment here

Wednesday, September 23, 2009

Berteologi (?)

Hari aku mengikuti kuliah Memimpin Ibadah. Kuliah ini diajar oleh Pak Rasid Rachman, dosen Liturgika yang juga pendeta di Gereja Kristen Indonesia. Setahu aku, Pak Rasid adalah ahlinya di bidang Liturgika. Setidaknya itu terbukti dari dirinya yang hanya memiliki gelar Master Theologia tetapi dipakai sebagai dosen Liturgika di sekolahku. Pengetahuannya sangat luas, lebih dari gelar yang dimilikinya.

Aku selalu terpesona dengan pengetahuan yang dimilikinya. Orangnya sederhana, penyampaian kuliah di kelas juga sederhana. Singkat, padat, jelas, dan to the point, tetapi sangat berisi.

Kuliah hari ini yang disampaikannya mengingatkanku lagi bahwa dalam segala hal yang berhubungan dengan Ibadah, kita harus memikirkan makna teologisnya. "Jemaat harus diajarkan mengenai arti teologis dari tiap unsur ibadah dan urutan ibadah, jangan hanya diberikan 'hasil jadi'. Itu tidak mendidik sama sekali."

Kuliah hari ini membuatku merasa bahwa diriku harus masih perlu banyak belajar. Aku terlalu banyak tidak mengetahui apapun.

Hal yang perlu aku pelajari: Liturgi Lima, Leksionari dan penggunaannya dalam membuat Pengakuan Dosa dan Kyrie(?), urutan-urutan liturgi secara logis sesuai dengan makna teologisnya.

Laptop Hans, Perpustakaan STT Jakarta
24 September 2009
10:15