Pages

Showing posts with label rasidrachman. Show all posts
Showing posts with label rasidrachman. Show all posts

Saturday, December 25, 2010

Selamat Natal (yang Aneh)

Dalam dua hari terakhir, aku melihat banyak hal aneh yang sepertinya sudah menjadi hal biasa. Di Kebaktian Malam Natal di GKPS Kebayoran kemarin malam dan Kebaktian Natal di GKI Bintaro Utama tadi pagi.

Aneh tapi biasa? Buatku bisa jadi aneh, tetapi buat orang lain itu adalah hal biasa. Acara Kebaktian Malam Natal bisa menjadi kebaktian dengan durasi terpanjang sepanjang tahun. Terlalu banyak hal yang tidak penting yang dimasukkan ke dalam tata ibadah. Susunan acara yang sudah ditetapkan saja sudah panjang, ada tambahan persembahan pujian dari berbagai pihak pula yang diselipkan. Entah apa yang dipikirkan orang yang membuat tata ibadah dan orang yang ingin "tampil" di ibadah. Aku pikir mereka bisa saja berpikir, "semakin panjang durasi ibadah maka akan semakin terasalah makna acara perayaan malam Natal." Acara Malam Natal di GKPS Kebayoran tadi malam memang digabung juga dengan acara perayaan Natal Sekolah Minggu, yang membuat tata ibadah itu tidak mungkin tidak panjang. Dijadwalkan dimulai pukul 18.00, acara ibadah tadi malam baru dimulai pada sekitar pukul 19.00 setelah listrik padam sekitar dua-puluhan menit sejak pukul 18.30. Kebaktian berlangsung dengan banyak orang yang keluar masuk ruangan, banyak yang berbicara satu sama lain saat Liturgi (ini istilah di tata ibadah Natal GKPS yang cukup susah untuk aku jelaskan) berlangsung karena suara yang membacakan Liturgi tidak jelas, atau banyak yang mondar-mandir karena hendak memfoto anak Sekolah Minggu yang tampil. Untuk yang terakhir, aku turut ambil bagian dalam keanehan itu. Aku harus turut memeriahkan keanehan ini, pikirku kemarin. Di luar semua hal yang aku anggap keanehan itu, aku mendengarkan dengan seksama khotbah yang disampaikan oleh PW.Pasma Sitanggang. Satu hal yang aku ingat dari khotbahnya adalah tentang makna Natal adalah membagikan kasih, karena Tuhan yang adalah kasih rela turun ke bumi adalah kasih. Dia menjelaskan untuk membagikan kasih Allah kepada sesama kita dapat kita lakukan bukan melalui kata-kata, tetapi melalui perbuatan. Hanya saja kita tidak mungkin membagikan kasih itu kalau kita tidak mengenal kasih itu sendiri apa. Ilustrasi tentang 10 orang anak panti asuhan dan jeruk Natal juga menarik.

Kebaktian Natal di GKI Bintaro Utama tadi pagi hanya menyisakan sedikit keanehan. Pengurus gereja tidak mempersiapkan dengan baik monitor dan sound-system di depan gereja untuk jemaat. Mungkin pengurus gereja berpikir pada acara Kebaktian Natal tadi pagi itu jumlah jemaat yang akan hadir akan sangat sedikit. Mungkin.

Berikut ini beberapa hal yang aku pikir perlu diperhatikan, di luar keanehan yang aku maksudkan di atas. GKI Bintaro Utama mungkin sebaiknya belajar dari GKI Kayu Putih tentang penggunaan multimedia di dalam ibadah. Apa mungkin hal itu hanya persoalan dana saja? Lalu soal Baptisan Anak yang tadi diselenggarakan, aku jadi teringat kuliah di kelas Memimpin Ibadah yang diajar Pak Rasid Rachman. Aku memang tak melihat dengan jelas cara Pdt.Bonnie Andreas melakukan baptisan. Hanya saja di dalam kelas Memimpin Ibadah, cara menuangkan air ke atas kepala orang yang dibaptis memang diusahakan agar air, sebagai simbol penting dalam baptisan, terlihat dicurahkan dari telapak tangan. (Jadi ingin masuk kelas Memimpin Ibadah lagi. Lho?)

Masuk kembali ke ranah keanehan, aku teringat update status seorang teman tadi malam. Dia menyebutkan kalau pada Malam Natal gereja selalu penuh. Aku dengan aneh menanggapi dalam hati, "bersyukurlah kalau gereja selalu penuh waktu Natal. Berarti orang Kristen masih ada. Bisa saja suatu hari nanti gereja tidak ada lagi pengunjungnya di Malam Natal. Entah karena gereja tidak ada lagi, entah karena tidak ada lagi orang Kristen di Indonesia ini seperti harapan beberapa orang di Indonesia ini." Komentar aneh kan?

Lalu, ada skenario aneh di kepalaku. Diceritakan di dalam skenario aneh itu aku berbicara sendiri seolah-olah berbicara kepada Bapakku yang sudah meninggal 11 tahun yang lalu. "Pak, hari ini adalah hari Natal ke-11 tanpa Bapak bersama-sama dengan kami." Lalu kelanjutan dari skenario itu adalah Bapakku dalam bayang-bayang hitam yang tak terlihat olehku berkata kepadaku, "so what gitu lho? Eh, hari ini bukan peringatan terhadap orang-orang yang sudah meninggal. Di dalam kalender gereja, hal itu seharusnya kau lakukan pada akhir November lalu. Belajar Liturgi tidak kau? Hari ini adalah hari Natal, merayakan kelahiran Yesus Sang Juruslamat di Betlehem." Dan lalu bayang-bayang hitam itu hilang. Skenario aneh kan? Kenapa coba bayang-bayang hitam? Ada yang tahu kenapa?

Nah, sekarang waktunya merelfeksikan keanehan-keanehan di atas sebagai refleksi Natal tahun ini. Bagaimana caranya? Entahlah.

Beberapa waktu belakangan aku suka membaca beberapa buku tulisan Henri Nouwen. Salah satu hal yang menarik dari tulisan Nouwen adalah tentang compassion atau belas kasihan (atau welas asih?). Allah memilih untuk datang ke bumi dalam rupa manusia untuk jalan keselamatan manusia. Mengapa harus menjadi manusia dan itu pun manusia yang rentan, bukan manusia yang punya kuasa seperti menjadi raja? Aku baru bisa lebih mengerti tentang belas kasih Allah terhadap manusia karena mengetahui akar kata compassion itu adalah cum dan pati yang bersama-sama memiliki arti to suffer with. Itu artinya Allah dalam Yesus Kristus datang ke dunia untuk menunjukkan bahwa Allah itu adalah Allah yang berbelas kasih yang mau turut menderita bersama-sama dengan manusia.

Selamat Natal. Tuhan beserta kita.
Selamat berbagi...

Eydro's Residence
25 Desember 2010
18:42

Thursday, October 15, 2009

Catatan Pemandu Hari Ini

Hari ini aku bangun jam 06.00. Tepatnya di lantai ruang tamu rumah kontrakan temanku. Aku bangun, lalu tidur lagi. Aku baru meninggalkan rumah kontrakan temanku jam 06.30. Aku sudah sempat tidak ingin masuk kuliah karena aku merasa tubuhku agak demam. "Whatever," pikirku. Aku jadinya malah mandi. Kalau akhirnya jadi tambah sakit, aku pun tidak peduli.

Aku hendak berangkat ke sekolah sewaktu Wilson juga hendak berangkat menaiki sepeda Hans. "Gue yang pake dong," pintaku yang terkesan memerintah sebenarnya. "Mengalahlah sama orang yang lebih tua dan sedang sakit," ucapku untuk membenarkan permintaanku.

Aku lalu mengikuti kuliah Memimpin Ibadah. Aku senang mengikuti kuliah ini karena setiap mengikuti kuliah yang diajar Pak Rasid Rachman ini aku merasa ada sesuatu yang menarik dari apa yang diucapkan oleh Pak Rasid. Sayangnya, perkataan-perkataan Pak Rasid itu seperti benih yang tumbuh di tanah yang berbatu saja. Aku gembira mendengarnya, tetapi tak lama kemudian aku akan lupa apa yang pernah dikatakannya.

Selesai kuliah, aku sarapan. Dan entah kenapa, aku malah jadi ikut lagi menemani para turis dari Filipina jalan-jalan. Kalau kemarin mereka jalan-jalan ke Sarinah di Jalan Thamrin, tadi siang mereka jalan-jalan ke ITC Mangga Dua. Pengalaman pertama juga buatku untuk jalan-jalan ke ITC Mangga Dua. Yang berbeda dari hari ini dengan yang kemarin adalah: mereka tidak terlalu banyak berfoto-foto karena sudah diingatkan untuk berhati-hati.

Entah apa yang ada di dalam pikiranku sewaktu aku mengiyakan akan menemani seorang di antara turis itu untuk ke Atrium Senen lagi. Yang pasti, tadi siang aku jadinya menemani dua di antara 15 turis Filipina itu untuk membeli Batik di Matahari Atrium Senen. Pengalaman menarik: Gladys (entah begitu tulisannya aku tak tahu), meninggalkan tas kecil barang belanjaannya di fitting room. Aku jadinya harus berlari ke tempat fitting room dan meminta kasir tempat kami membayar tadi mengambil barang yang tertinggal itu. (Sekarang aku malah berpikir, kenapa aku harus minta tolong pada kasir itu ya? Bukankah fitting room biasanya untuk siapa saja, tidak ada perbedaan antara fitting room untuk laki-laki dan perempuan?)

Aku sebenarnya masih ingin menulis lebih panjang dari ini, tetapi aku harus melakukan tugasku yang lain: membuat gambar untuk cover CD. Sepertinya aku harus menyimpulkan sesuatu untuk tulisanku ini. Hari ini: menarik. Thanks to friends that involved in my life today.

KGJ
15 November 2009
23:50

Wednesday, September 23, 2009

Berteologi (?)

Hari aku mengikuti kuliah Memimpin Ibadah. Kuliah ini diajar oleh Pak Rasid Rachman, dosen Liturgika yang juga pendeta di Gereja Kristen Indonesia. Setahu aku, Pak Rasid adalah ahlinya di bidang Liturgika. Setidaknya itu terbukti dari dirinya yang hanya memiliki gelar Master Theologia tetapi dipakai sebagai dosen Liturgika di sekolahku. Pengetahuannya sangat luas, lebih dari gelar yang dimilikinya.

Aku selalu terpesona dengan pengetahuan yang dimilikinya. Orangnya sederhana, penyampaian kuliah di kelas juga sederhana. Singkat, padat, jelas, dan to the point, tetapi sangat berisi.

Kuliah hari ini yang disampaikannya mengingatkanku lagi bahwa dalam segala hal yang berhubungan dengan Ibadah, kita harus memikirkan makna teologisnya. "Jemaat harus diajarkan mengenai arti teologis dari tiap unsur ibadah dan urutan ibadah, jangan hanya diberikan 'hasil jadi'. Itu tidak mendidik sama sekali."

Kuliah hari ini membuatku merasa bahwa diriku harus masih perlu banyak belajar. Aku terlalu banyak tidak mengetahui apapun.

Hal yang perlu aku pelajari: Liturgi Lima, Leksionari dan penggunaannya dalam membuat Pengakuan Dosa dan Kyrie(?), urutan-urutan liturgi secara logis sesuai dengan makna teologisnya.

Laptop Hans, Perpustakaan STT Jakarta
24 September 2009
10:15

Monday, June 5, 2006

Paduan Suara dalam Ibadah

Mata Kuliah : Liturgika
Dosen : Pdt. Rasid Rachman, M.Th

PADUAN SUARA DALAM IBADAH

Paduan suara sepertinya sudah merupakan sebuah bagian yang harus ada dalam sebuah ibadah. Hal ini Penulis rasakan di dalam beribadah di gereja sejak kecil. Penulis memang tidak langsung mengikuti ibadah untuk orang dewasa, tetapi karena rumah Penulis yang terletak selalu dekat dengan gereja membuat penulis memiliki pemahaman tersebut. Setiap kebaktian di hari Minggu selalu terdengar paduan suara, atau lebih dikenal di gereja asal Penulis sebagai koor, menyanyikan sebuah nyanyian di dalam ibadah. Paduan suara yang ada juga tidak hanya satu, tetapi paling tidak terdapat satu “persembahan koor” dalam setiap ibadah di hari Minggu.

Permasalahannya terdapat pada pemahaman jemaat mengenai paduan suara itu sendiri. Jemaat sepertinya tidak mengerti fungsi sebenarnya paduan suara itu sendiri dalam ibadah. Inilah yang akan membuat saya/Penulis untuk menulis makalah singkat (dan gak jelas, Pak) mengenai paduan suara ini. Penulis mengharapkan makalah ini dapat membuka wawasan penulis sendiri mengenai paduan suara.

***

Musik merupakan sesuatu yang penting dalam ibadah. Luther banyak menggunakan musik dalam ibadah. Luther juga menggunakan paduan suara untuk mendukung pelaksanaan nyanyian jemaat. Itu adalah tugas dan tanggung jawab utama dari paduan suara menurut Luther.[1] Dengan demikian, fungsi utama dari paduan suara adalah membantu jemaat dalam menyanyikan nyanyian jemaat.*

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam paduan suara:

1.            Paduan suara berfungsi untuk membantu jemaat dalam menyanyikan nyanyian jemaat. Dengan kata lain, paduan suara berfungsi sebagai kantoria ataupun song-leader. Hanya saja perlu diperhatikan agar suara paduan suara tidak lebih dominan dari suara seluruh jemaat.

2.            Paduan suara seharusnya dimengerti sebagai bagian dari ibadah (liturgi), yang menyatakan pujian dan ucapan syukur kepada Tuhan melalui nyanyian.[2] Tidak boleh ada unsur pertunjukan sama sekali jika paduan suara tersebut berfungsi di dalam ibadah. Menurut Christina Mandang, hal itulah yang menyebabkan kita tidak boleh menyampaikan apresiasi kita kepada paduan suara melalui tepukan tangan pada saat ibadah berlangsung.[3] Sebab paduan suara tidak berfungsi untuk menghibur jemaat, tetapi sebagai bagian dari ibadah bersama-sama dengan jemaat berfungsi untuk menyatakan pujian dan ucapan syukur kepada Tuhan.

3.            Paduan suara sebaiknya tidak menghadap kepada jemaat. Hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa paduan suara bernyanyi seperti paduan suara yang bernyanyi di ruang pertunjukan, yaitu bernyanyi kepada jemaat, bukan bernyanyi untuk kemuliaan Tuhan. Hal seperti ini seharusnya tidak dilakukan.[4]

4.            Paduan suara sebaiknya ditempatkan tersebar bersama dengan jemaat. Paduan suara yang ditempatkan tersebar bersama dengan jemaat dapat diarahkan dan dikontrol oleh pemain musik. Dengan cara ini berarti paduan suara dalam ibadah tidak membutuhkan seorang dirigen yang jika ada (pada cara ini) dapat merusak perhatian jemaat.[5] Hal ini juga membantu jemaat untuk bernyanyi sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk memuji Tuhan.[6]

Menurut pendapat saya, hal penting keempat dari paparan sebelum ini adalah cara yang terbaik untuk menyatakan fungsi paduan suara adalah untuk membantu jemaat dalam menyanyikan nyanyian jemaat. Paduan suara seperti pada cara tersebut seperti tidak menunjukkan keberadaan suatu paduan suara dalam ibadah, tetapi pasti akan sangat membantu jemaat dalam menyanyikan nyanyian jemaat.

***

           Pada pemaparan mengenai paduan suara yang Penulis tuliskan ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa umumnya gereja-gereja di Indonesia belum menempatkan paduan suara pada posisi sebenarnya. Saya setuju dengan Christina Mandang yang menyatakan paduan suara lebih sering ditempatkan hanya sebagai pengisi ibadah saja.[7] Hal ini, menurut saya, terjadi karena pemahaman yang salah mengenai fungsi paduan suara dalam ibadah. Makalah singkat yang masih jauh dari sempurna ini penulis harapkan dapat menjadi bahan untuk membuka pemahaman jemaat mengenai fungsi paduan suara dalam ibadah. Paduan suara juga diharapkan menyadari keberadaan suatu paduan suara bukanlah untuk menghibur jemaat dan juga bukan untuk melakukan pertunjukan di dalam ibadah. Sebab, seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya, paduan suara bersama-sama dengan jemaat berfungsi untuk menyatakan pujian dan ucapan syukur kepada Tuhan.

Daftar Pustaka

Giles, Richard Giles. Re-Pitching the Tent. Norwich: Canterbury, 1997.

Mandang, Christina. Pembinaan Musik Gereja GPIB Paulus Jakarta: Pemandu Nyanyian Jemaat. (Makalah, disampaikan di GPIB Paulus Jakarta pada Sabtu, 18 Februari 2006).

Maxwell, William D. Concerning Worship. London: Oxford University Press, 1949.



[1] Christina Mandang, Pembinaan Musik Gereja GPIB Paulus Jakarta: Pemandu Nyanyian Jemaat, (Makalah, disampaikan di GPIB Paulus Jakarta pada Sabtu, 18 Februari 2006), hal. 3.

[2] Richard Giles, Re-Pitching the Tent (Norwich: Canterbury, 1997), hal. 196.

[3] Christina Mandang, Op.cit.

[4] William D. Maxwell, Concerning Worship (London: Oxford University Press, 1949), hal. 108.

[5] Ibid., hal.107

[6] Richard Giles. Op.cit.

[7] Christina Mandang, Op.cit.



makalah ini adalah makalah Liturgika I yang saya ceritakan di
(dan gak jelas, Pak)
* : koreksi yang Pak Rasid buat hanyalah di tanda titik yang berlebih satu pada akhir kalimat ini.

(dan gak jelas, Pak)

Kemarin gue ngambil paper Liturgika gue di BAA kampus gue. Gue sih masih kurang puas dengan nilai yang tertera di halaman terakhir paper gue itu. Cuma 80. Gue baru merasa senang dengan nilai itu waktu teman gue ada yang bilang nilainya 70. Terus gue lihat paper dia, ternyata banyak tulisan tangan Pak Rasid yang mengoreksi tulisan dia. Entah itu tulisan kata Alkitab yang huruf A nya tidak dia buat huruf kapital, atau juga konsistensi istilah yang dia pakai. Jumlah halaman paper yang dia buat juga lebih banyak dari yang gue buat. Tetapi, dia cuma dapat 70.

Pacarnya teman gue tadi malah bernasib (menurutku) kurang baik dibanding gue. Dia buat papernya berjumlah 18 halaman, tetapi hanya mendapat nilai 85. Teman gue yang asal gerejanya sama dengan gue mungkin mendapat nilai yang paling tinggi. Dia membuat paper yang menilai unsur teologis dari lagu buku nyanyian di gereja kami yang diciptakan oleh A.K. Saragih. Dia mendapat nilai 100. Walaupun begitu, dia masih memiliki kekurangan dalam penulisannya. Buktinya Pak Rasid masih memberikan koreksi juga di papernya.

Gue memang menyombongkan diri (pada diri gue sendiri) waktu gue lihat punya teman-teman gue ada dapat pengkoreksian dari dosen Liturgika kami itu. Sementara itu gue hanya salah pada tanda titik di akhir kalimat yang berlebih. Ada 2 titik. Dan hanya itulah yang dikoreksi oleh Pak Rasid.

Tapi itu hanya sebentar saja. Sewaktu gue ke warnet di depan kampus gue, gue melihat beberapa kata yang mencurigakan di halaman depan paper gue itu. Awalnya gue cuma baca kata "gak jelas." Bagaimana mungkin di dalam paperku ada kata yang gak baku seperti kata "gak" ini, pikirku. Ya, ampun. Gue baru ingat. Sewaktu gue ngetik paper yang berjudul "Paduan Suara dalam Ibadah" itu, ada teman gue -kalo gak salah sih si Daniel Gunawan- yang ngeliat gue ngetik. Karena gue males kalau ada orang yang ngeliat gue ngetik sesuatu di komputer gue, gue malah iseng. Gue tambahin kata-kata "dan gak jelas, Pak" di dalam tanda kurung. Terus gue sempet juga bilang ama yang ngeliat gue iseng itu, "asal ntar gue gak lupa aja ngehapus kata-kata ini."

Dan ternyata gue lupa. Gue baru sadar kemarin setelah paper itu dinilai dan dikembalikan ke gue. Tetapi, bagaimana mungkin kata-kata itu lepas dari pengamatan Pak Rasid ya? Apa sebenarnya gue hanya bisa dapat nilai 80 karena ada kata-kata itu? Kalau misalnya ya, kenapa juga dia tidak melakukan koreksi di paper gue ya? Entah dia menaruh tanda lingkaran dan tanda tanya di bagian itu.

Ah, karena (dan gak jelas, Pak) itu, gue jadi gak mau menyombongkan nilai paper gue yang hanya berjumlah dua setengah halaman itu (bnd: Hans 18 halaman dapat nilai 85).

Oiya, yang membuat gue kurang puas dapat nilai 80 adalah harapan gue dapat nilai A- untuk nilai akhir mata kuliah Liturgika I gue ini. Jadi, kalau gue dapat A-, nilai ini bisa menutupi nilai mata kuliah lain yang kemungkinan besar jelek. Masih ada 5 mata kuliah lagi yang belum jelas nilainya. Untuk sementara sih, gue sepertinya lulus dari semester dua ini. Walaupun mungkin hanya dengan IP pas-pasan, gue udah cukup senang. Daripada DO. Oops...

Kalasan, belakang kantor Kontras, Jakarta
11:26
3 Juni 2006