Pages

Tuesday, June 21, 2005

Insomnia II

Insomnia-kah aku?


Dalam 1 bulan terakhir, aku tidak bisa tidur di antara jam tidur normal -sekitar pukul 22.00 sampai 06.00-. Aku lebih sering terjaga sampai pagi -sekitar pukul 04.00-05.00. Setelah itu, aku baru bisa tidur dan baru bangun ketika matahari sudah berada di atas kepala.


Insomnia-kah aku?

"Pinch me! Did I really see this?"

Kalau kamu nonton F1 di GlobalTV Senin dini hari yang lalu, bisa saja kamu dengar juga komentar dari komentator acara live tersebut -berbahasa Inggris- setelah acara podium yang tidak biasanya. "Pinch me! Did I really see this?"


Wajar saja komentatornya bicara seperti itu. Dan untuk pagi itu, aku memang menonton dua tayangan acara olahraga yang dalam keduanya ditemukan sesuatu yang lain dari yang biasanya. Ketika tayangan acara live F1 di Global TV mau dimulai, aku memindahkan channel TV ke Global TV setelah kami selesai menonton tayangan pertandingan sepakbola antara Jepang dan Yunani yang dimenangkan oleh Jepang 1-0. Di layar ditayangkan urutan start. Aku memang tidak tahu urutan start karena malam sebelumnya tidak menonton kualifikasinya. Lalu sempat diperlihatkan juga bos F1 -gak jelas apa Bernie Ecclestone atau Max Mosley- sedang berbicara dengan direktur teknis tim Ferrari, Jean Todt. Aku merasa itu merupakan suatu hal yang wajar. Lagipula setahuku bos F1 itu dekat dengan tim Ferrari.


Warm-up lap pun dimulai. Belum terlihat suatu kejanggalan. Ketika di akhir warm-up lap satu per satu pembalap membawa masuk mobil balapan mereka ke dalam pit lane, barulah terlihat keanehan itu. Awalnya aku pikir yang masuk itu -yang aku lihat di layar TV sebelumnya hanya Truli dan Alonso- ingin langsung melakukan pit stop atau start dari pit stop. Tapi ternyata tidak. Mobil para pembalap yang masuk ke pit lane tadi malah dimasukkan ke dalam garasi. Dan di garis start, hanya tersisa 6 pembalap. Pembalap tersebut hanyalah pembalap yang timnya menggunakan ban Bridgestone. "Balapan apaan ini? Masa cuma 6 aja yang start." komentar temanku Ben. Dan setelah start dimulai, mulailah kami berspekulasi apa yang terjadi. "Karena peraturan kali, makanya hanya yang pake ban Bridgestone aja yang boleh start." ucapku berlagak tahu.


Tim F1 tahun ini yang memakai ban Bridgestone hanyalah Ferrari, Jordan Toyota, dan Minardi. Yang dua terakhir adalah tim papan bawah yang tidak bisa bersaing dengan tim lainnya. Untuk tahun ini, praktis hanya Ferrari saja tim F1 yang memakai ban Bridgestone yang dikatakan bisa unjuk gigi, walau hanya sedikit. Ferrari tahun ini tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya disebabkan salah satunya faktor ban yang tidak mendukung. Ban Bridgestone kurang ngegrip, begitulah komentar komentator acara F1 Global TV.


Walaupun sudah dapat dipastikan yang akan finish 1-2 itu adalah tim Ferrari, aku masih aja nonton terus acara itu. Aku ingin dengar komentar dari komentator -yang bahasanya sebenarnya aku tidak begitu mengerti- tayangan live acara F1 itu. Kalau biasanya komentar mereka adalah seputar race yang sedang berlangsung, kali ini mereka mengomentari keanehan yang sedang terjadi. Mereka juga coba menjelaskan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Reporter mereka yang biasanya mewawancarai pembalap yang berhenti di tengah balapan, kali ini mewawancarai pembalap dan bos tim yang pada tidak ikut balapan. Ada juga penonton acara itu yang menonton langsung di sirkuit Indianapolis itu yang diwawancarai. Mereka merasa rugi datang jauh-jauh hanya untuk menonton 6 pembalap. Pokoknya sepanjang balapan, yang dikomentari lebih banyak mengenai keanehan yang terjadi, bukan balapan itu sendiri.


Selagi menonton F1, tayangan sepakbola Piala Konfederasi antara Brazil-Meksiko juga ditayangkan di SCTV. Aku pun pindah-pindah channel untuk bisa mengikuti perkembangan kedua acara tersebut. Di acara sepakbola ini juga terjadi suatu keanehan. Meksiko mendapatkan hadiah tendangan penalti karena pemain belakang Brazil -Roque Junior- "memeluk" Borgetti -pemain Meksiko- dan jatuh di kotak penalti. Tendangan penalti pun dilakukan oleh Borgetti. Gol. Tapi harus diulang karena wasit melihat ada pemain Meksiko yang bergerak lari masuk ke dalam kotak penalti ketika bola belum ditendang Borgetti. Tendangan penalti diulang. Tendangan penalti kedua ini tidak gol karena dapat ditepis oleh Dida. Tapi ini juga mesti diulang lagi. Kali ini pemain Brazil yang masuk terlalu cepat ke dalam kotak penalti. Ketika tendangan penalti dilakukan untuk yang ketiga kalinya, bola eksekusi penalti yang dilakukan Borgetti mengenai mistar gawang. Tidak gol. Ini mungkin tidak aneh. Tapi paling tidak untuk aku dan Dimas, teman sekosku yang sempat menonton denganku, kejadian itu termasuk aneh.


Balapan F1 pun selesai ketika pertandingan Brazil-Meksiko masih di menit-menit awal babak kedua. Dari ketiga pembalap yang naik podium -satu pembalap lagi dari tim Jordan, yaitu Monteiro-, hanya pembalap Jordan itu aja yang terlihat senang. Maklum, itu adalah podium pertamanya dan timnya. Schumacher yang biasanya melompat di podium kalau dia mendapat posisi 1, bahkan terlihat hanya menerima pialanya tanpa mengangkatnya ke atas. Padahal itu adalah kemenangan pertama buat dia di tahun ini, dan ke-84 sepanjang karirnya. Di post race press conference pun mereka menyatakan kemenangan seperti itu bukanlah kemenangan yang Schumacher dan Barrichelo inginkan. Dan mau tahu komentar Monteiro, "I'm not as sad as them.."


Aku pun terus menunggu komentar dari komentator acara F1 yang berbahasa lebih aku mengerti dari Global TV. Host acara itu adalah Hilbram Dunar. Dia ditemani oleh seorang komentator -biasanya host manggilnya Bung Arif- yang sejak aku suka nonton F1 di TV -sejak 1999- dia sudah sering tampil sebagai komentator. Dan dari penjelasannya barulah aku mengerti yang terjadi di Indianapolis bukanlah karena adanya kolusi antara tim yang memakai ban Bridgestone dengan petingggi F1, tapi murni karena faktor produsen ban Michelin yang tidak berani menjamin keselamatan pembalap kliennya dengan ban yang sudah mereka pakai. Selain itu permintaan pembuatan chicane di tikungan 13 atau tikungan terakhir tidak dapat dipenuhi oleh FIA.


Setelah menonton F1 dan sedikit komentar itu, aku pindah lagi ke SCTV untuk menonton Brazil-Meksiko yang akhirnya dimenangkan oleh Meksiko hanya dengan satu gol. Gol itu dimasukkan oleh Borgetti melalui sundulan menyambut tendangan sudut yang aku tidak perhatikan diambil oleh siapa. Kalau mau menyalahkan siapa gol itu bisa terjadi, aku rasa orang yang bisa disalahkan adalah Roque Junior -pemain Brazil yang paling tidak disukai oleh temanku Timbul- yang tidak berhasil menjaga dengan baik Borgetti.


Setelah selesai menonton kedua tayangan aneh itu, aku pun ikut-ikutan berkomentar sama dengan komentator F1 -the English one-. "Pinch me! Did I really see this?"

Nama

Aku sudah sering bertanya kepada temanku nama apa yang akan dia berikan kepada anaknya nanti. Dengan Ben, teman sekosku, aku sudah sering membahas ini. Walaupun sampai sekarang kami belum mempunyai pasangan hidup -pacar aja gak punya-, tetap aja ada beberapa nama yang keluar. Aku sudah lupa sih sebenarnya apa aja nama yang pernah kami ucapkan. Tapi ada beberapa ide yang kami saling ucapkan dan komentari.


Kemarin waktu kami -aku, Ben, Timbul- menonton siaran langsung sepakbola Piala Konfederasi antara Yunani dan Jepang, aku membahas mengenai nama lagi. Tanpa sadar aku mulai mengomentari nama-nama pemain Yunani yang nama belakangnya -sepertinya- semuanya berakhiran S. Nama-nama yang aku hafal adalah sebagai berikut: Charisteas, Gianakopolos, Karagounis, Vryzas, dan Dellas. Aku gak tahu apa memang orang Yunani memberikan nama belakang harus berakhiran S. Tapi mengamati hal ini membuatku berkata kepada temanku kalau sekarang menjadi lebih mudah untuk tahu nama orang Yunani. Lalu Timbul menambahkan nama yang mungkin sudah sering kita dengar untuk memperkuat perkataanku. Sebut saja Aristoteles, Agustinus, dan Marius.


Lalu pembicaraan pun mulai kepada nama anak. "Nanti nama anakku aku bikin empat kata", kata temanku Ben. Memang nama lengkapnya hanya tiga kata, Ben Hardy Saragih. Lalu kami mulai membicarakan nama-nama orang Batak Karo. Ben bercerita kalau guru SMP nya dulu ada yang bernama Kuda Diri, dipanggil Bu KD. Nama orang Karo memang banyak yang diambil dari nama benda. Sebut saja Gelas yang menjadi judul sinetron dan nama tokoh utama di sinerton itu di SCTV beberapa waktu lalu. Filosofi membuat namanya mungkin -aku sendiri tidak tahu- adalah apa yang terjadi atau apa yang dilihat pada saat si anak lahir. Misalnya saja waktu anaknya lahir, si Bapak sedang melihat gelas. Maka diberikanlah nama anaknya Gelas.


Pembicaraan mengenai nama pun terus berlanjut. Ben pun bercerita tentang anak Bapa Udanya yang diberi nama Reformasi. Mungkin tingkat pendidikan juga mempengaruhi seseorang membuat nama, Timbul memberikan pendapat. Ben bilang memang Bapa Udanya itu hanya tamat SMA. "Pantaslah. Orang yang berpendidikan (tinggi) gak mungkin buat nama anaknya seperti itu", ucap Timbul.


Kami mulai tertawa ketika aku mengatakan kenapa namanya gak pakai istilah ekonomi saja. Ben yang jurusan Teknik Industri dan di kuliah dia ada mendapat mata kuliah yang berhubungan dengan ekonomi mulai memberikan istilah-istilah ekonomi sambil tertawa. Inflasi, Deflasi, Depresiasi. Kami bertiga tertawa, mungkin dengan pikiran bagaimana jadinya kalau nama anak kami nanti kami beri istilah seperti itu diikuti marga kami. "Depresiasi Saragih... ha..ha..ha..ha.. Ya ampun.. matilah aku" ucap Ben tertawa sambil tertawa terbahak-bahak. Aku tiba-tiba memotong pembicaraan karena melihat nama kiper yang tidak berakhiran S, dan aku mengira itu kiper Yunani. "Lalap* hang kawan ini", ucap Timbul. "Kiper Jepang itu apa." Mendengar kata hang, kami pun mulai tertawa lagi karena kami mulai berpikiran dan melontarkan istilah yang berhubungan dengan komputer, istilah elektronika, dan istilah telekomunikasi untuk dijadikan nama. Resistor, Bandwith dipanggil Ben, Hang, Restart, Shutdown, Linux (masih lumayan karena nama Linux memang diambil dari nama orang). Dan kami mulai tertawa sampai perut kami -paling tidak aku- terasa sakit ketika kami masing-masing mulai mengucapkan peripheral yang ada di dalam komputer. Harddisk, Keyboard, Mouse, Athlon XP dan terakhir yang paling membuat kami tertawa seperti mau mati adalah Timbul bilang "VGA Visipro". Padahal kan Visipro itu merek memory card, bukan merek VGA card.


Kami pun mulai berhenti tertawa terbahak-bahak karena masing-masing kami sudah capek tertawa. Hery, teman sekos kami yang tadi sorenya bersama kami pergi gereja, datang ke kamarnya Timbul, tempat kami nonton dan tertawa itu. Mungkin karena tertarik untuk ikutan tertawa bersama kami. Tapi ketika dia masuk, mengambil tempat duduk di tempat tidurnya Timbul dan bertanya kami tertawa karena apa, tak satupun kami yang memberitahunya. Dan kami juga sudah mulai berhenti tertawa.


Tapi tiba-tiba, Hery mulai mengomentari nama orang Jepang yang menurut dia boros huruf A, seperti Nakata dan Nakamura. "Ohhh, kawan ini. Benar lah kau rajanya hang" ucap Ben. "Karena itunya kami tadi ketawa tadi. Dipancing lagi." Kami pun tertawa lagi sambil mengucapkan lagi nama-nama yang tadi membuat kami tertawa.


*lalap=tetap (bahasa Batak)

Monday, June 20, 2005

Kebaktian Gereja di HKBP Bandung Timur

Kemarin hari Minggu. Sebagai seorang Kristen sudah seharusnya untuk menyediakan -kata ini sepertinya salah- waktu untuk beribadah di gereja. Tapi sepertinya masih banyak orang Kristen yang tidak memahami betul apa makna datang kebaktian di gereja pada hari Minggu. Aku sendiri mungkin termasuk orang yang masih belum -begitu- mengerti makna tersebut.


Kemarin aku kebaktian gereja di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bandung Timur di Jalan Jakarta bersama dengan tiga teman sekosku. Itu baru yang ke-4 atau ke-5 kalinya aku bergereja di HKBP Bandung Timur ini. Kalau di Medan, asalku, aku memang tidak pernah berkebaktian gereja di hari Minggu selain di kebaktian yang dilaksanakan oleh gereja asalku, Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Aku pun merasa tidak asing dengan tata ibadah HKBP karena memang kurang lebih sama dengan tata ibadah di GKPS. Kebaktian yang aku ikuti kemarin bukanlah kebaktian yang berbahasa Batak Toba -yang aku sendiri tidak begitu mengerti-, tapi kebaktian berbahasa Indonesia dimulai pada jam 18.00. Jemaat yang hadir kebanyakan adalah pemuda dan remaja ataupun mahasiswa yang kuliah di Bandung dan kemungkin besar gereja asal mereka adalah HKBP.


Aku jarang gereja di sana karena beberapa hal. Sebenarnya salah membuat alasan tertentu kenapa aku jarang ke sana walaupun ada yang mengajak. Pertama kali ke sana, aku merasa tidak nyaman dengan lampunya yang cukup redup sehingga aku susah membaca. Kedua kalinya, aku merasa tidak nyaman dengan pengkhotbahnya yang menurutku isi khotbahnya kurang berbobot. Ketiga kalinya, aku merasa tidak nyaman karena aku memang datang terlambat saat itu. Dan kemarin mungkin yang keempat atau kelima kalinya, aku merasa tidak nyaman dengan jemaat yang hadir dan juga pengkhotbahnya yang menurutku kurang bagus.


Kuakui kalau aku kemarin juga salah. Kami datang terlambat. Aku juga hanya memakai sandal -bukan sandal jepit sih sebenarnya-. Dan aku sendiri tidak datang dengan keinginan yang murni. Aku datang seperti hanya untuk memenuhi kewajiban kalau setiap hari Minggu aku harus ke gereja. Mau mengikuti ibadah dengan tujuan benar sepertinya bukanlah hal yang utama.


Selama ini aku memang paling sering kebaktian gereja di Gereja Injili Indonesia (GII) Hok Im Tong Dago. Apa yang aku lihat dan alami kemarin membuatku ingin membandingkan kedua gereja ini -HKBP dan GII- dari segi pengkhotbah dan jemaat yang hadir. Dan dari perbandingan yang aku buat, mungkin sebaiknya aku berkesimpulan bahwa tidak ada yang lebih bagus, dan juga tidak ada yang lebih buruk.

MP3 Berbayar

Saya menulis ini untuk memberikan sedikit tanggapan dan juga sedikit masukan -yang mungkin hanya sebatas pemikiran saya saja- untuk tulisan Bapak Budi Rahardjo di majalah InfoLINUX (edisi 06/2005) berjudul "Sebuah Pemikiran Harga Musik Digital".


12 Juni yang lalu aku membeli majalah InfoLINUX (edisi 06/2005) di Toko Buku Gunung Agung Plaza Bandung Indah aka BIP. Saya baru kali itu membeli majalah tersebut yang memang lebih banyak membahas masalah seputar open source khususnya Linux. Saya memang bukan pertama kali membaca majalah InfoLINUX. Saya sering membacanya di perpustakaan kampusku. Dan hal yang menarik perhatian saya membaca majalah ini yang terutama sebenarnya bukanlah permasalah seputar Linux-nya, tapi lebih kepada tulisan berupa opini yang ditulis oleh Bapak Budi Rahardjo. Dari semua tulisannya yang saya baca, hampir semuanya tergolong tulisan bermanfaat bagi pembacanya. Tidak semua tulisannya sih saya ingat, tapi ada beberapa hal yang membuka wawasanku. Cerita mengenai mahasiswanya yang hanya melakukan test dengan dua metode masukan saja, bugs, disclaimer guarantee, juga mengenai kebebasan open source nomor dua.


Untuk tulisannya di majalah yang aku beli ini, ada beberapa hal yang ingin aku tanggapi -seperti tujuan awal aku menulis tulisan ini-. Hal yang dibahas dalam tulisannya adalah mengenai harga sebuah musik digital dan juga mengenai MP3 berbayar. Hal yang aku tanggapi adalah sebagai berikut:


-Kenapa harga sebuah CD lagu lebih mahal daripada sebuah kaset? Dilihat dari segi harga (CD blank @Rp2500,-, kaset kosong @Rp5000,-) dan proses duplikasinya yang lebih mudah dibandingkan dengan kaset (kaset juga rentan terhadap noise), seharusnya harga sebuah CD lebih murah.


Menurut saya, industri musik masih menjual CD lebih mahal daripada kaset karena mereka mungkin membuat harga berdasarkan kualitas. Yang saya tahu kualitas suara yang dihasilkan oleh CD lebih baik dari kualitas suara yang dihasilkan sebuah kaset. Benar harga sebuah CD blank memang sekitar Rp2500,- bahkan kalau beli dalam jumlah banyak harga sebuah CD blank bisa hanya Rp1500,- s.d. Rp2000,-. Tapi masa iya sih industri musik membuat sebuah CD berisikan lagu-lagu dari seorang penyanyi dengan CD blank seperti itu? Perasaan saya sih bilang: mereka gak gitu deh.
Kaset juga rentan dengan noise. Itu kan kalau kita meminjam kaset baru dari seorang teman, lalu kita menduplikasinya ke kaset kosong dengan hanya menggunakan tape double deck yang kita punya. Masa sih proses duplikasi kaset di industri musik seperti itu juga?


-"Jika harga CD lagu Indonesia disamakan dengan harga kaset, dugaan saya akan lebih banyak orang membeli CD asli. Pemutar CD sudah ada hampir di setiap rumah dalam bentuk VCD/DVD player atau komputer. Ini merupakan potensi pasar yang bisa dirangkul. Daripada mereka membeli CD/MP3 bajakan?"


Kalau yang ini saya setuju dengan Bapak Budi Rahardjo. Setuju karena orang yang akan membeli CD asli mungkin akan lebih banyak. Tapi menurut saya tidak secara serta merta orang lebih memilih membeli CD asli daripada CD/MP3 bajakan. Kebanyakan orang membeli CD/MP3 bajakan pasti karena pertimbangan harga. Katakanlah harga sebuah CD lagu Indonesia yang disamakan dengan harga sebuah kaset berkisar antara 20-30 ribu rupiah. Dengan harga seperti itu pun saya rasa orang Indonesia -terutama yang senang mengkonsumsi CD/MP3 bajakan- tidak akan beralih ke CD asli. Alasannya, mereka pasti lebih memilih yang bajakan karena harganya yang tetap masih lebih murah dari harga itu. Segi positifnya -untuk orang yang suka mengoleksi CD dan biasanya memang punya uang lebih untuk membeli CD- hal itu pasti kabar gembira. Kalau biasanya dia membeli seharga 50 ribu ke atas, maka jika hal ini direalisasikan dia bisa lebih menghemat atau lebih banyak lagi membeli CD. Pihak industri musik Indonesia juga mungkin akan mendapatkan keuntungan lebih besar, bila saja masyarakat Indonesia sebagai sasaran konsumen mereka banyak yang sadar dan taat hukum, yaitu tidak membeli yang bajakan dan lebih memilih membeli yang asli. Gak tahu apakah ini segi negatif atau positif, tetapi hal ini juga bisa mengubah perilaku konsumen. Dari yang awalnya lebih memilih untuk membeli kaset, beralih lebih memilih untuk membeli CD.



-"...Setelah ada MP3 bukankah orang akan dengan mudah saling bertukar lagu? Tanpa kita berbuat sesuatupun ini sudah terjadi. Mengapa tidak menarik keuntungan dari sini? Ternyata iTunes membuktikan bahwa orang mau membeli MP3 secara legal. Tadinya iTUnes menargetkan ada pembelian satu juta lagu MP3 dalam enam bulan. Namun target ini dipecahkan hanya dalam enam hari..."


Saya tidak mengerti dengan ke-legal-an dari iTunes. Apakah iTunes juga membayar royalti buat setiap lagu yang dibayar oleh konsumen yang mendownload kepada pemilik lagu itu sebenarnya? Kalau tidak, bisa jadi ini termasuk legal yang ilegal. Nah, lho?
Lagipula ini contoh kasusnya di luar Indonesia. Kalau pun hal ini dilakukan di Indonesia, saya rasa tidak akan laku. Karena ada kok channel mIRC yang menyediakan download MP3 gratis. Hal ini saya lihat di warung internet langganan saya. Saya pernah melihat operator/kasir warnet itu sedang mendownload MP3 dengan menggunakan mIRC. Kualitasnya bahkan lebih baik dari MP3 yang didapat dari CD bajakan. Rata-rata bit rate-nya 128 kbps. Dan pelanggan warnet itu, termasuk saya, bebas untuk memperoleh MP3 yang telah mereka download tanpa membayar juga. Itu sih namanya memang bukan bertukar lagu, tapi meng-copy lagu. Kalau saya sendiri memang tidak pernah membeli CD yang berisi MP3 bajakan. Saya lebih sering meminjam kalau ada teman yang membelinya. Dan semua lagu MP3 yang ada di harddisk saya tidak pernah saya dapatkan dengan cara membeli. Jadi, buat apa beli kalau orang lain sudah punya dan saya bebas untuk meng-copy-nya.


- "...orang Indonesia pun masih mau membayar lagu MP3 jika tersedia layanan jualan MP3 legal..."


Sayang sekali orang yang turut serta dalam survei yang dilakukan oleh Bapak Budi Rahardjo (dalam hasil yang dicantumkan pada majalah) hanya 51 orang. Saya rasa MP3 bisa dikatakan legal kalau MP3 tersebut dikeluarkan resmi oleh pemegang hak cipta untuk lagu tersebut. Aku tidak tahu kabar terbaru, tapi saya belum pernah dengar atau tahu ada pihak label musik yang menjual MP3. Apakah saya yang ketinggalan berita, ya?



Dan masukan -yang hanya berupa pemikiran saya saja- adalah sebagai berikut:
Saya teh punya ide. Bagaimana kalau dalam paket sebuah CD lagu, mungkin sebaiknya disertakan juga sebuah CD lagi yang berisikan lagu-lagu yang sama, tetapi dalam format MP3? Ini mungkin bisa menjadi solusi untuk MP3 legal. Saya rasa setiap orang yang membeli CD, paling tidak saya, dan memutarnya di komputer merasa tidak nyaman jika harus memasukkan CD ke CD-ROM untuk mendengarkan lagu. Makanya saya lebih memilih untuk meng-copy-nya ke komputer. Tapi sayang, di komputer saya tidak ada software yang bisa meng-convert sebuah CD audio menjadi file MP3. Kalau menggunakan Windows Media Player, formatnya dalam bentuk .wma yang tidak bisa diputar di Winamp. Lagipula, untuk sekarang ini orang sudah banyak mendengarkan lagu melalui MP3 player. Bagaimana kalau seorang seperti saya yang punya sebuah CD audio ingin mendengarkan lagu itu ketika pergi jalan-jalan misalnya? Kan lebih enak kalau ketika kita membeli CD lagu, lagu-lagunya juga sudah tersedia dalam format MP3 yang bisa didengarkan dimana-mana. Tapi sepertinya ide ini lebih berbahaya lagi dalam perkembangan CD/MP3 bajakan.


Terakhir, legal atau bajakan, sepertinya kembali kepada konsumen.

Anjing dan Babi

Anjing dan babi merupakan dua jenis binatang yang mungkin paling sering diucapkan oleh orang Indonesia untuk memaki ataupun hanya marah kepada orang lain. Itu hanya kemungkinan saja. Tapi faktanya sih tidak jauh berbeda. Kalau "anjing" sepertinya bukan seperti kata makian lagi buat orang Sunda. Bahkan "babi" diikutsertakan dalam surat yang dikirim ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Australia yang dalam amplop surat itu juga ditemukan serbuk yang dicurigai sebagai bakteri berbahaya.

Tidak Mungkin

Apakah mungkin sesuatu yang baik dihasilkan oleh seorang yang jahat?
Apakah mungkin seorang yang jahat dapat berubah menjadi seorang yang baik?
Apakah mungkin seorang narapidana yang dipenjara karena membunuh, memperkosa, mencuri, atau sejenisnya dapat dipulihkan nama baiknya ketika dia suatu saat keluar dari penjara?


Apakah jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas adalah "tidak mungkin"?


Dunia lebih percaya sekali hitam tetaplah hitam. Tidak mungkin hitam bisa menjadi putih. Tetapi putih bisa saja menjadi hitam. Dan walaupun seorang yang putih menjadi hitam, sepertinya dunia lebih memilih untuk tidak akan percaya kalau dia bisa kembali menjadi putih seputih sebelumnya.


Mungkin? Tidak mungkin.

Jangan Abu-abu

Aku mengingat di salah satu sesi dalam Bible Camp (BC) PMK STT Telkom yang aku ikuti dalam tiga tahun terakhir. Di sesi itu pengkhotbah mengatakan mengenai sifat atau karakter seorang manusia. Kalau dia baik, bilang saja dia digolongkan menjadi putih. Dan sebaliknya, kalau dia jahat, digolongkan menjadi hitam. Lalu kemanakah aku? Demikianlah pengkhotbahnya menginginkan setiap orang yang mengikuti BC itu bertanya pada diri masing-masing.


Aku tidak tahu apakah ada yang merasa dirinya tergolong putih ataupun hitam. Menurutku kebanyakan orang akan menjawab dirinya termasuk golongan abu-abu. Tidak hitam, tapi tidak juga putih. Kalau aku merenungkan ini, aku jadi melihat keadaanku sekarang. Aku tidak bisa digolongkan putih, juga tidak bisa dibilang golongan hitam. Padahal hal yang diinginkan setelah mengikuti sesi dalam BC saat itu adalah setiap orang akan berusaha -tentunya tidak dengan kekuatan sendiri- untuk bisa termasuk dalam golongan putih. Dan kalaupun tidak bisa putih, sebaiknya hitam saja. Jangan menjadi abu-abu yang gak jelas.


Pilih mana? Putih atau hitam? JANGAN ABU-ABU!

Thursday, June 2, 2005

Insomnia


Insomnia atau sulit tidur menimpa 1 dari 10 orang Amerika Serikat. Insomnia bisa berupa mata tak terpejam sepanjang malam, terbangun di tengah lelapnya tidur dan sulit tidur kembali, terbangun beberapa kali, bangun terlalu dini, atau tidak merasa bugar setelah bangun tidur.


Masih ada insomnia kronis sebagai insomnia paling parah karena penderitanya selama sebulan atau lebih tidak bisa tidur pada sebagian besar malam. Ada pula insmonia jangka pendek, sulit tidur 2-4 minggu, dan insomnia transient yang berlangsung beberapa hari.


Meski demikian sebenarnya hanya 30 persen penderita insomnia yang benar-benar terganggu. Insomnia bisa terjadi karena kondisi kejiwaan seperti stress atau gangguan fisik di sekitarnya. Tidur siang yang berlebihan juga membuat mata terjaga sepanjang malam.


taken from Terapi Gizi Untuk Insomnia


Aku sepertinya lagi mengalami insomnia nih...