Pages

Tuesday, May 9, 2006

Perkara Receh

Coba bayangkan kalau ada seorang yang setiap hari mengambil uang Anda? Anda pasti akan jengkel walaupun uang yang dia ambil hanyalah sebesar 200 perak sehari. Itulah yang saya rasakan. Ada seorang teman saya yang beberapa hari ini mulai rutin mengambil uang receh saya.


Sepele memang. Apalagi saya sering hanya mengatakan, "Sok" (bahasa Sunda yang berarti silakan).


"Ada 200 gak, Tho?" lalu tangannya mulai mencari-cari uang receh di atas mejaku tanpa ada kata "ya" dariku. Setelah mendapatkannya, "bagi 200 ya, Tho?" pintanya.
"Sokk..."


Walaupun hanya 200 perak, tetapi saya tidak bisa terima. Masa dia memintanya setelah dia mengacak-acak mejaku yang sudah berantakan? Masa sih mintanya setiap hari? Saya sih maklum kalau uang tersebut memang dia minta karena dia tidak punya uang lagi. Atau untuk keperluan yang penting sekali. Dia mengambil uang itu untuk menambah uangnya untuk membeli rokok. Paling tidak itulah anggapanku.


Kejadian ini bukan hanya terjadi sekali. Sudah sering sekali. Orangnya bahkan berbeda-beda. Parahnya ada teman saya yang mengambil uangku dari sebuah stationery pot dari M2 magazine yang aku jadikan tempat uang recehku. saya ada di situ saat itu pura-pura sedang tidur dan dia mengambilnya tanpa permisi. Bukan hanya itu, orang yang sama juga pernah berusaha mencari di mana saya menyembunyikan tempat uang recehku itu, di dalam kamarku, juga saat saya pura-pura sedang tidur.


Ada juga oknum lain yang memang meminta dengan "cukup sopan." Tetapi, saya tidak mau memberikannya. Itu hanya karena dia meminta uang tersebut untuk rokok juga. Parahnya orang ini malah ngotot kalau yang dia lakukan tidak sama dengan pemalakan. Padahal dia langsung seperti memaksa di saat saya tidak memberikan uang yang dia minta.


Lalu, ada juga yang meminta seperti ini. "Ada 1000 gak Tho? Bagi, ya!" Persis seperti yang di atas. Tetapi nilainya lebih besar. Dalam kasus seperti ini, ada yang mengambil langsung lembaran seribu rupiahku yang sering terletak begitu saja di atas mejaku, dan ada juga yang mengambil setelah "memungut" satu persatu terlebih dahulu uang dari tempat uang recehku itu.


Perkara receh memang. Tetapi jika setiap hari, saya berarti harus menderma kepada orang lain sebesar seribu rupiah setiap minggu. Empat ribu rupiah sebulan. Empat ribu itu sudah bisa untuk makan siang sekali, kalee... Itu kalau hanya satu orang saja. Kalau menderma untuk orang yang tidak punya sih tidak apa-apa. Tetapi kalau menderma untuk rokok orang lain, saya tidak bisa terima. Selain itu, tidak ada di antara mereka yang tidak mampu.


Salah siapa perkara receh ini bisa terjadi? Salahkukah? Bisa jadi. Kalau saja aku tidak mengumpulkan uang recehku, kalau saja uang recehku tidak bertebaran di mana-mana di kamarku, kalau saja uang lembaran seribu rupiahku tidak berceceran di kamarku, mungkin perkara receh ini tidak akan terjadi. Sayang, sepertinya mereka sudah mengenalku sebagai "vontho si penyedia uang receh." Walaupun tidak seperti itu, mereka paling tidak mengenalku sebagai orang yang hanya bilang "sok" ketika mereka dengan sesukanya mengambil sesuatu dari kamarku.


200 perak? Ah, perkara receh. Sok atuh.


Asrama Putra STTJ, Dempo 14, Jakarta
21:45
8 Mei 2006
DAY8042

4 comments:

  1. iyu bullying, walau nilainya cuma 200 -1000
    jangan didiemin, ntar tumbuh...

    ReplyDelete
  2. iya sih.. tapi karena merekanya udah biasa, sepertinya gue gak enak juga bilang "nggak boleh"
    kalau lebih besar dari 1000 sih, mereka juga tau diri.. instead of minta mereka bilang pinjam..

    ReplyDelete
  3. pinjem tapi gak dibalikin? sama aja dong :)

    ReplyDelete
  4. sama aja memang.. tapi dengan adanya kata "pinjam" gue sekali-kali bisa minta supaya uang gue dibalikin..
    dan kalau memang yang dipinjem itu lebih besar dari seribu (apalagi 5ribu rupiah ke atas), umumnya balik semua kok.

    ReplyDelete