Aku sudah pernah bilang ke kakak kalau aku belum pernah naik pesawat terbang. Dan memang untuk pertama kalinya lah aku merasakan terbang di atas awan ketika liburanku yang durasinya tidak panjang, hanya 2 minggu. Libur kami sebenarnya dari tanggal 8-20 November 2004. Tapi karena aku sudah tidak punya UTS yang perlu diikuti lagi, tanggal 5 ato hari Jumat aku berangkat ke Jakarta dengan menaiki kereta. Memang sudah agak sore aku ke stasiun kereta di Bandung sehingga aku dapat tiket yang berangkatnya jam 16.20. Berangkatnya jam segitu ya baru tiba di Gambir sekitar jam 19.20 an gitu. Nunggu di halte di depan Gambir cukup lama. Karena bus –yang nomor trayeknya aku sekarang aja uda lupa tapi tahu jurusannya jurusan Pulogadung-Kalideres dan ada kata AC di depan nomor trayeknya– yang harus aku ambil itu nunggunya aga lama, aku baru bisa nyampe di rumah Inang Tongah ku sekitar jam 9 lewat. Yang kuingat waktu menunggu di halte itu sedang turun rintik-rintik dan kadang hujan tapi gak begitu deras. Aku sudah sering menunggu di halte itu waktu aku bolak-balik Jakarta-Bandung. Dan baru waktu itu aku sangat memperhatikan seseorang yang sepertinya tiap hari berada di halte itu. Orangnya tidak bisa bicara. Atau kalau bicara juga sangat tidak jelas. Setiap ada bus yang berhenti sebentar di halte itu, kerjaannya seperti memberikan isyarat dengan tangannya kalo tidak kepada supir, kepada kondekturnya. Aku gak gitu mengerti maksud isyarat itu. Tapi sepertinya memberitahukan kepada si supir atau si kondektur mengenai bus dengan nomor trayek yang sama sudah lewat dari halte itu dalam jangka waktu beberapa waktu sebelumnya. Untuk itu biasanya dia mendapat sekeping uang logam yang dalam asumsiku waktu itu uang 500 rupiah. Aku senyum-senyum sendiri sambil tetap menunggu bus, menghitung-hitung berapa pendapatan yang bisa dia terima setiap harinya. Aku gak tau apa setiap bus yang lewat dari tempat itu selalu memberikan dia uang yang dapat dikategorikan semacam uang tip itu. Atau apakah kondektur bus yang aku lihat malam itu memberikan dia sekeping 500an, sebelumnya dalam hari itu atau setiap dia lewat dari tempat itu, memberikan hal yang sama.
Orang bilang Jakarta tidak bersahabat bagi pendatang. Dan dari dulu kalau aku datang ke Jakarta, kakakku selalu berpesan untuk hati-hati. Penjahat bisa dimana aja. Dan sampai sekarang memang aku belum pernah merasakan aku kehilangan apa-apa dalam perjalanan aku entah di manapun itu di Jakarta. Naik bus, naik transjakarta, atau naik apapun. Aku memang kadang terlalu santai dalam membawa barang bawaanku (tas atau apapun yang aku pegang) karena memang aku belum pernah merasakan kecopetan di Jakarta. Tapi untuk berjaga-jaga aku selalu ingat pesan kakakku untuk make tas punggung di dada, bukan di punggung. Waktu aku nunggu, ada yang tanya waktu itu uda jam berapa ke aku karena melihat di tanganku ada jam tangan. Jadi malu. Aku minta maaf ama dia dan bilang kalau jam yang aku pake adalah jam mati. Dan aku segera meraih HPku yang ada di saku bagian dalam jaket yang sedang aku pake. Jam 20.10, kataku. Wah gak perlu repot-repot, ucapnya karena melihat aku yang dengan repot-repot merogoh kantongku hanya untuk mengambil HPku. Dan setelah hampir satu jam menunggu lah baru bus yang aku tunggu datang dengan penumpang yang sudah cukup sesak. Tapi finally bisa duduk juga setelah mendekati Cengkareng. Lumayanlah daripada diri terus.
Tiba di rumah Inang Tongah, Bapa Tongah ku iseng nanya. “Di mananya Bandung, vonto?” tanyanya. Dia tanya begitu karena khawatir aku gak jadi datang ke Jakarta dan berarti aku tidak jadi ke Medan padahal tiket uda ada di tangannya. “Di Jawa Barat, Pa Tongah”, jawabku. Ngomong-ngomong sebentar dengan Inang Tongah ku, setelah dia tahu aku belum pernah naik pesawat dia ngasi sedikit pengarahan gimana nantinya di bandara.
Dan besok paginya, aku berangkat ke bandara sekitar sebelum jam 5.30 karena check in sebelum jam 6.00 diantar oleh Bapa Tongah ku dengan motor. Setelah mengantarku ke terminal 1C, Bapa Tongahku langsung cabut. Dan memang mau naik pesawat terbang itu tidak ribet. Aku berangkat naik Mandala Airlines dan berangkatnya aku gak tau tepatnya jam berapa karena aku termasuk orang yang taat. Sebelum masuk pesawat aja HP ku uda mati. Dan tanpa diminta jam tanganku uda mati sangat jauh sebelumnya.
Jangan terpana melihat pramugarinya, Kak? Wah, aku gak terpana kok. Paling cuma curi-curi pandang. Nggak ding, boong. Memang rata-rata cantik sih, Kak. Kalo gak cantik kayaknya gak bisa deh jadi pramugari. Aku lah contohnya. (Apa coba?) Waktu itu kan masih lagi puasa. Makanya rata-rata makanan yang disediakan banyak yang bawa pulang. Aku juga ikut-ikutan minta plastik untuk tempat makanan itu biar bisa dibawa pulang. Tapi bedanya dengan yang lain, aku minta minum juga. Selama penerbangan aku gak bisa dan gak mau tidur. Dan gak ada terasa pusing seperti yang kakakku perkirakan akan terjadi padaku. Malah aku bilang ke kakakku kalo pesawatnya kayaknya kurang enak kalo gak goyang. Habis uda biasa sih naik kendaraan yang aga goyang sepanjang perjalanan –kereta api maksudku–. Dan aku terus berusaha untuk menutup telingaku karena posisi tempat dudukku tepat berada di dekat jendela dan di samping sayap.
Nyampe di Medan jam 9.05. Eh, ternyata yang janjinya ngejemput (naik angkot padahal) masih ada di rumah. Mamakku cerita kalau kakakku masih mau mandi waktu dia ngeliat pesawat Mandala lewat dari depan rumah kami. Rumah kami memang bukan dekat bandara, tapi umumnya pesawat yang mau mendarat di Polonia dapat terlihat dari depan rumah kami. Alhasil aku menunggu hampir selama 40 menit lebih sambil melihat-lihat apa aja yang udah berubah di lampu merah dekat bandara itu dan di Medan umumnya selama 2 tahun 3 bulan 1 hari sejak aku tinggalkan. NgeSMSin teman kalau aku uda nyampe di Medan.
Sampe di rumah, aku ngeliat banyak hal yang berubah di pekarangan rumah kami. Dulu rumput yang ada di pekarangan rumah ada dua jenis. Rumput yang sejenis dengan makanan kambing dan rumput yang kayaknya orang bilang rumput cina. Waktu aku tinggalkan, rumput cina tuh hanya menutupi gak nyampe 1/5 bagian pekarang rumah kami. Dan waktu aku balik, semuanya udah jadi rumput cina. Kata mamakku hampir setiap kalau ada waktu mamakku mencabuti rumput kambing (gak tau namanya sih) dan membiarkan rumput cinanya bisa semakin menjalar. Tapi ada satu hal yang membuat aku cukup terkejut. Ada pohon pepaya di samping rumah kami yang ditanam waktu Bapakku masih ada. Dan waktu Bapakku meninggal, buahnya uda cukup banyak tapi belum pernah masak. Dan aku ingat aku jatuh ke tanah, tanganku hampir patah, waktu bermaksud mau memotong ujung tuh pepaya karena tumbuhnya tinggi dan sepertinya mau menembus asbes. Kejadian itu hari Kamis, sedang Bapak baru saja dikubur hari Minggu. Hal yang cukup membuat mamakku shock. Kejadian aku jatuh itu sudah 5 tahun yang lalu. Dan sampai sekarang, tuh papaya masih ada dan masih berbuah dengan bentuk yang bukan seperti pohon papaya umumnya. Batangnya sudah dengan kemiringan lebih kecil dari 45 derajat. Aku sempat berpikir mau tanya anak pertanian atau anak biologi, berapa lama sih sebenarnya paling lama umur pepaya dan masa berbuahnya. Kayaknya foto tuh papaya bisa dimasukin ke rubrik seperti rubrik simpang rana di majalah Bobo dulu.
Kayaknya langsung aja deh ke cerita in the middle of no where nya. Hari Rabu tanggal 10 November aku dan kakakku berangkat ke kampung. Kampung ompung dari mamak dan dari bapak. Dalam rencana perjalanan kami, kami memang hanya sebentar aja di kampungnya mamak. Kami hanya singgah sebentar untuk ziarah ke makam ompung kami terutama ompung cewek (my mom’s mother) yang baru meninggal September lalu dan satupun kami (aku dan kakakku) tidak ada yang bisa datang. Singkatnya kami melanjutkan perjalanan kami hari itu juga ke kampungnya bapak. Sewaktu aku mau berangkat ke Bandung dulu, aku diharuskan juga ketemu ama tua kami –tua adalah panggilan untuk my dad’s mother–.
Kampung Bapakku itu lah yang aku maksud dengan middle of no where. Karena untuk sampai di tempat itu harus ditempuh murni dengan berjalan kaki sejauh 4-5 km dari jalan besar. Memang sih ada jalan selebar 5 meter. Tapi tidak ada kendaraan umum yang masuk ke sana, karena jalannya yang tidak bagus. Dan kendaraan yang sering keluar masuk ke kampung itu hanyalah truk yang semakin memperparah rusaknya jalan dan menyebarkan becek secara merata di jalan yang harus dilewati (kalau lagi musim hujan). Di jarak yang sepanjang itu, terdapat sebuah seperti sebuah lembah. Jadi lengkaplah kalau ke kampung Bapak itu seperti hiking aja. Karena ada menuruni dan mendaki bukit. Kalau waktu aku mau ke Bandung dulu dan harus ke kampung itu, cuacanya bukan musim hujan. Jadi jalannya cukup kering dan tidak perlu kuatir akan becek. Dan untuk pertama kalinya untukku dan juga kakakku ke tempat itu lagi, terdapat perubahan yang cukup membuat kakakku tertawa sepanjang perjalanan. Dari jalan besar tempat kami turun dari bus, sudah ada sejenis becak yang dapat membawa kami sampai mendekati lembah yang aku bilang tadi. Suatu perubahan yang terasa cukup besar bila mengingat kalau dulu ya harus dilewati dengan jalan kaki. Dan turun dari becak, kami sudah langsung menuruni bukit lalu mendaki lagi. Dan setelah itu masih melewati beberapa rintangan alias becek/kubangan lumpur karena saat itu memang katanya hujan sudah sering turun di daerah itu. Tapi memang sudah gak begitu terasa lagi jauhnya karena dilewati dengan tawa mengingat masa yang lalu melewati jalan itu. Kakakku kebetulan memakai HP pake kamera. Aku menyuruhnya mengambil foto tempat dia pernah jatuh (waktu dia SMP) karena terpeleset di lumpur. Sambil menirukan suara jatuhnya kami tertawa sambil terus melanjutkan perjalanan kami.
Tiba di kampung bapakku, nobody at home. Aku check HP ku. Ada sinyal atau tidak. Dan seperti orang yang gak pernah dapat sinyal sebelumnya (di kampung ompung dari mamak aku gak bisa dapat sinyal, kakakku yang pake Mentari bisa tapi kalo di makam ompung kami) aku nunjukin HP ku ke kakakku dan bilang “eh, dapat sinyal” (this moment captured by her phone camera). Karena riangnya, kapan lagi pikirku nelepon dari middle of no where ke dunia yang lebih dijangkau peradaban seperti rumah kami di Medan. Aku langsung menelepon mamakku untuk bilang kalau kami sudah tiba di kampung bapak kami. Itu juga yang membuat aku malam itu ngirim SMS yang kayaknya gak penting banget kan Kak ke kakak bilang kalau aku lagi in the middle of no where. Walau tidak terjangkau oleh kendaraan umum, paling tidak kampung bapakku yang seperti in the middle of no where itu sudah terjangkau sinyal XL yang sebenarnya bukan provider dengan sinyal lebih bisa ditemukan dimana-mana seperti sinyalnya Telkomsel.
Besok paginya kami langsung pulang, dan untunglah kemarin malamnya tidak turun hujan. Sebenarnya sepanjang perjalanan kami pulang kampung cukup banyak foto yang kakakku dan aku ambil. Ada foto rumah (wlo cuma kami foto sambil lalu dari kendaraan kami pulang) tempat pertama kali Bapakku ditugaskan sebagai pendeta dan of course tempat aku pertama kali dibesarkan, foto waktu kami mau pulang dari rumah tua kami, foto waktu kami ke ladang untuk ngejemput tua (karena waktu kami nyampe kan gada orang di rumah), dan banyak lagi foto-foto dengan momen-momen yang sebenarnya gak perlu difoto. Tapi semuanya masih dalam bentuk file di HP kakakku. Sedang aku pulang duluan ke Jakarta daripada dia. Jadi aku gak punya sama sekali deh file nya. Tapi ntar deh mungkin kalo aku ke Jakarta aku minta.
--deleted--
GBU, Sis
-vontho-
this entry sebenarnya isi emailku ke seorang teman untuk ceritain liburanku di bulan November 2004 lalu, beberapa bagian sudah dihapus pada bagian --deleted--
some pictures about this entry can be seen @ Feels Like Home
No comments:
Post a Comment