Pages

Monday, October 12, 2009

Tunjukkan Gigimu!

Aku belum bisa tidur. Aku pun akhirnya memutuskan untuk menulis tentang foto yang ada di samping ini.

Foto di samping ini adalah foto Mamakku, keponakanku, dan aku. Coba perhatikan aku, kakakku, dan Mamakku! Kami bertiga tersenyum dengan lebar dan gigi kami terlihat. Memang jelas terlihat kalau gigiku adalah gigi yang paling jelek, tetapi bukan berarti aku tidak mau menunjukkan gigiku kalau tersenyum untuk difoto. Dari beberapa foto yang di dalamnya ada kami bertiga, hampir semuanya terlihat kalau kami bertiga tersenyum lebar dengan menunjukkan gigi kami. Sepertinya untuk kami bertiga berfoto itu berarti "tunjukkan gigimu." Eydro, keponakanku, kata Mama-nya akan diajari untuk tersenyum menunjukkan giginya bila difoto.

Selain tentang 'tunjukkan gigimu', foto ini juga sepertinya dapat menjelaskan kenapa aku dan kakakku terlihat seperti orang Tionghoa.

KGJ
13 Oktober 2009
02:09

the photo was captured when my Mom was going to go back to Medan. photo original source: my sister's FB photo album

Suka Tenggorokan Parasit

Aku sedang ingin menulis sesuatu. Ini aku tulis di saat tenggorokanku sedang sakit. Ah, apa hubungannya tenggorokan sedang sakit dengan menulis sesuatu? Bisa saja ada. Misalnya, aku bisa menulis tentang sakit tenggorokan. Hmm, bener juga. Sakit tenggorokan merupakan salah satu penyakit yang sering aku derita. Lebih sering karena aku minum minuman dingin atau yang ada es-nya. Itu sering membuatku radang tenggorokan. Suatu saat di tahun 2006 (kalau aku tidak salah ingat) aku bahkan disarankan oleh dokter untuk melakukan operasi amandel bila amandel-ku bengkak lagi. Jadi ingat kalau dulu Bapakku pernah operasi amandel sewaktu dia masih kuliah di STT Jakarta, sekolahku saat ini juga di tahun 1970an. Di situlah dia pernah berkenalan dengan seorang perawat boru Girsang. Aku tahu cerita ini entah dari mana, aku pun tak tahu. Aku tidak tahu ke mana perginya kumpulan surat yang pernah Bapakku kirimkan ke Tua (Ibu dari Bapakku), dan juga kepada pacar-pacarnya (sepertinya banyak). Sepertinya Bapakku dulu punya kebiasaan menggunakan carbon copy  dari setiap surat yang dikirimnya. Aku pernah membaca beberapa surat yang dibundling oleh Bapakku dengan rapi dan waktu itu aku pernah menemukannya di dalam rak buku di rumah kami sekarang di Medan. Aku tidak tahu ke mana perginya kumpulan surat-surat itu. Apakah Mamak membuangnya ya? Atau menyembunyikannya?

Sepertinya aku sudah mulai ngalor ngidul. (Benar tidak sih istilah yang aku buat?) Tetapi memang karena aku tidak punya tujuan khusus untuk tulisan ini, aku memang akan menulis apa saja yang ada di kepalaku saat ini. Oh iya, saat ini aku sedang mendengarkan lagu Gita Gutawa yang berjudul "Parasit". Lagunya menarik. Entah kenapa aku jadi suka lagu ini. Ada hubungannya juga sih dengan seorang temanku yang tiba-tiba suka dengan lagu ini. Dia menyebut seorang temannya 'parasit' mengikuti lagu ini. Padahal kan orang yang dia maksudkan sebagai 'parasit' itu tidak se-parasit orang di lagu yang dinyanyikan Gita Gutawa ini. Hanya saja pada akhirnya aku mengerti kenapa dia menyebut orang itu parasit, karena dia menceritakan sesuatu tentang ke-parasit-an orang itu menurut versinya. Ah, cukup sudah. Ku kini sudah mulai gerah. Aku perlu oksigen untuk bernafas.

Ke topik lain. Tadi sore aku berbincang-bincang dengan seorang teman cewek yang dulu aku pernah suka. Dulu? Masih tidak ya? Ah, kalau pun masih, aku kini sudah mengerti bagaimana dia menanggapi seorang yang suka padanya. Dia tidak menyukai seorang cowok yang suka padanya dengan alasan 'karena kamu cantik'. Padahal itu kan biasanya menjadi alasanku suka terhadap seorang cewek. Walaupun tidak sedangkal itu, biasanya unsur utama aku menyukai seorang cewek ya karena alasan itu. I name myself as a shallow man for that. Kembali kepada pembicaraanku dengan temanku itu. Aku tiba-tiba mulai bisa berbicara bebas dengannya, dan dia pun sepertinya begitu, karena pembicaraan yang sempat aku lakukan dengannya beberapa hari yang lalu. Kami berbicara tentang seorang temanku yang sedang menyukainya. Aku sebenarnya serasa seperti tertusuk sewaktu dia mengatakan kalau dia kurang suka (atau bahkan sama sekali tidak suka) dengan alasan seorang cowok menyukainya karena melihat dia berubah menjadi lebih menarik karena sesuatu perubahan yang terjadi padanya. Apalagi hanya itu yang menjadi alasan seorang cowok menyukainya. Hmm.. Apakah semua cewek yang pernah aku suka seperti dia ya? Sepertinya sih begitu. Ah, tidak juga. Ah, tidak perlu dibahas sepertinya. Selain hal itu, aku dan dia juga berbicara tentang perasaanku terhadap seorang perempuan saat ini. Pernyataannya tentang ketidaksukaannya terhadap alasan seorang cowok menyukai dirinya sebenarnya terlontar juga dari perempuan yang -sebut saja- saya suka saat ini. Itu memang membuat diriku berpikir ulang. Do I really like her?  Walaupun aku punya alasan lain selain karena perempuan yang aku suka itu cantik, aku pikir itu pun masih alasan dangkal juga. Tunggu, aku kan tidak berbicara tentang ini dengan temanku itu.

Beberapa hari lalu, ketika aku pertama kali berbicara berdua dengannya, aku dianjurkannya untuk melakukan sebuah tips yang aku sendiri tidak bisa membahasakan ulang kembali. Hmmm.. Let me remember what she said. Ah, aku lupa. Tetapi ada satu hal yang aku paling ingat dari ucapannya. Dia berkomentar tentang lagu Pupus yang berbunyi, "baru ku sadari, cintaku bertepuk sebelah tangan.." "Jangan jadikan ini sebagai theme song cinta lo! Jadikan yang tadi gue bilang ke lo menjadi theme song di kepala lo!" Dia sebelumnya menyebut theme song buatnya adalah, "aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta." Apa lagi ya kemarin tips dari dia? Aku juga agak lupa, tetapi menurutku sangat menarik dan cukup mengubah pandanganku tentang menyukai seseorang (aku tidak atau belum berani memakai istilah mencintai).

Pembicaraan kami tadi sebenarnya pembicaraan mengenai seorang temanku yang menyukainya. Hmmm.. Aku mengerti apa yang sebenarnya diinginkannya. Aku belum bisa menyampaikan apa yang tadi aku bicarakan dengannya kepada temanku yang menyukainya. Lagipula dia juga sudah mempunyai seseorang di hatinya. Siapa ya? Aku juga jadi penasaran.

Aku sepertinya di sini malah menjadi membicarakan perasaan suka terhadap seseorang. Sudah lama memang aku tidak menulis lagi tentang perasaan suka. Aku lebih memilih menggunakan istilah jatuh suka daripada istilah jatuh cinta.

Ah, aku jadi ingat apa yang aku bicarakan dengan temanku itu. More than words. Intinya sih itu.

Kembali ke perasaan suka. Aku suka padanya. That's it. Dia sudah tahu. Now what?

(Note:Tulisan ini dibuat dalam keadaan cukup mengantuk)

KGJ
13 Oktober 2009
01:00

Tuesday, October 6, 2009

Mayday I'm in love...

What is love?

Seriously, can anyone tell me? Because I always try to deny that I’m in love if I feel something for someone. I would say, “No, this can’t be love. I’m just crazy bout him. That’s it. Love wouldn’t feel like this.” Then tell me, how does it feel like? What are the symptoms?

Being unable to concentrate? Being unable to think about anything else but that particular person? Being silly? Being happy for unexplained matters? Being sad for nothing? Does it feel like eating chocolate as your appetizer and having cheese cake topped with vanilla ice cream as your main dish and then finishing it with chilli as your desert? Very sweet and addictive at the beginning. Making you wanting more and more. Then it gets sweeter and sweeter, but then it gets too sweet, too intense, too much sugar involved. At the end, your tears shed, because it’s so spicy, it’s too hot, it makes you cry. It breaks your heart.

Is that it?

Does it always end like that? I wonder.

I read something the other day. It says, one can’t love and be wise. I must admit that it’s damn true. Upps… did I just proclaim my self being in love? I guess so… Gosh, I guess I just did.

I can’t make reasonable decisions. I know that this is wrong. I know that this is stupid. I know that this is a waste of time. I know that it will break my heart one day. And one thing for sure, I know that I will remember it for the rest of my life. And that’s what I’m afraid of.

So what on earth am I doing?

I’m in love.

I love him. What is it about him that you love? I keep on asking myself that question. And every time I give myself the same answer. I have no idea.

This guy makes me laugh, cry, smile, mad at the same time. He, who is really, really not my type, but then able to touch my heart. This naughty-stubborn-selfish-surgeon-gonna-be, steals my heart with his silliness, stupidity, being-irresponsible.. I love everything that he hates, hate everything that he loves. Gosh he's such an annoying guy. I hate him for what he did to me. I hate him for the things that he said. I hate him for who he is. But then, doesn’t the greatest hate spring from the greatest love? I'm still amazed until right now. I don’t understand. But then, can anyone understand love? Again, I wonder.

No, it’s still the biggest mystery of life.

Jesus understood it. The whole bible talks about love. It’s the longest love letter ever written. He loves us. Even though we hurt Him. We deny Him. We forget about Him. And yet, He gave His live for us. Isn’t that the greatest love of all?

Mother Theresa understood it. Mahatma Gandhi understood it. Siddhartha Gautama understood it.

Can you understand that? I still can’t.


Its just something that I wrote last year... bout my feelings. I guess I have the answers now... exactly as everyone predicted. Nothing to regret, just face it. Still trying to believe that time is the best medicine to heal every wound... Lord help me, I just hope it works..



(ditulis oleh Sarah J Girsang, dipost di Facebook pada tanggal 6 Oktober 2009, 10:02 PM WIB. tulisan ini disalin atas izin dari penulis)

Wednesday, September 30, 2009

Aku, Bapakku, dan Koran

Aku adalah anak laki-laki dari Bapakku. Itu tidak diragukan lagi. Aku dan Bapakku mempunyai kesamaan. Ada pepatah yang mengatakan, "like father like son" atau orang Indonesia menyatakannya dengan "buah tidak jauh jatuh dari pohonnya." Pepatah itu memang menggambarkan bahwa ada kemiripan antara seorang anak dengan Bapaknya. Ada, bukan semuanya mirip.

Salah satu kemiripan yang paling terlihat adalah suka mengoleksi barang-barang yang dianggap orang bisa saja tidak berharga, atau tidak bernilai untuk disimpan. Aku ingat kalau Bapakku mempunyai foto dengan Mamak sewaktu Bapak baru menyelesaikan kuliahnya di STT Jakarta. (Mereka tentunya belum menikah waktu itu.) Di foto itu terlihat ada tumpukan bungkus rokok di atas meja belajar Bapakku. Jumlahnya pasti tidak sedikit, karena sepengetahuan saya Bapakku dulu merokok ketika dia baru mau menulis skripsi. Sepertinya bungkus rokok itu adalah semua bungkus rokoknya selama dia menulis skripsinya.

Selain bungkus rokok itu, ada satu hal yang paling jelas yang masih aku ingat sewaktu kami tinggal di Jalan Cik Di Tiro 55, Medan. Bapakku berlangganan koran Suara Pembaruan (sepertinya dimulai begitu kami baru pindah sebulan dari Sibuntuon pada Agustus 1990). Semua koran yang ada disimpan dan dikumpulkan berdasarkan bulannya. Pada tahun 1996, kalau tidak salah, Mamak sedang berusaha untuk menjual barang-barang bekas yang ada di rumah. Bapak sempat menolak ketika koran-koran yang sudah terkumpul selama 5-6 tahun itu turut hendak dijual oleh Mamak. Pada akhirnya koran-koran itu dijual juga, dengan menyisakan koran beberapa bulan terakhir waktu itu. Alasan Bapakku untuk mengumpulkan koran itu? Manatahu ada yang membutuhkannya nanti suatu saat untuk membuat kliping dari koran-koran itu, katanya.

Kegiatan mengumpulkan barang-barang "tidak penting" seperti yang Bapakku lakukan juga aku lakukan dimulai dari aku kuliah di Bandung. Aku selalu mengumpulkan setiap struk ATM, struk belanja, dan struk apapun ke dalam suatu tempat. Sayangnya semua struk itu hilang dimakan rayap di kamarku di KGJ beberapa tahun lalu. Aku juga mengumpulkan koran seperti Bapakku. Lebih ekstrim dari cara Bapak dulu mengumpulkan, aku biasanya mengumpulkannya dalam keadaan rapi, halaman demi halaman diperhatikan. Semua koran itu pun harus tersusun sesuai dengan tanggalnya. Sebelum aku langganan koran Kompas selama dua belas setengah bulan (Maret 2008-Maret 2009), aku biasanya membeli koran eceran. (Biasanya aku membeli koran yang jumlah halamannya tebal. Koran hari Jumat atau koran dengan ada pembahasan khusus). Koran itu aku urutkan juga berdasarkan tanggal terbitnya.

Apakah alasanku untuk mengumpulkan koran itu? Aku malu menyatakannya di sini. Akan tetapi terjadi perubahan alasan untukku mengumpulkan koran itu, terutama karena jumlahnya yang sudah terlalu banyak. Aku berencana "untuk melakukan yang menurut saya bisa dilakukan dengan koran-koran itu.. yang ada dalam pikiran saya: menggunting dan mengumpulkan bagian Cerpen setiap Sabtu, bagian TTS-nya setiap Minggu, bagian iklan dari Experd (yang kadang ada kadang tidak) setiap hari Sabtu (di bagian Klasika), bagian Kolom Bahasa (yang tidak tentu kapan terbit), bagian Foto Minggu ini (di hari Minggu), bagian foto-foto yang menarik.."* dan seterusnya.

Hanya saja, karena tidak pernah jadi aku lakukan, koran itu pun hanya menumpuk di kamarku. Singkat cerita, aku mendapat ultimatum dari Mamak supaya aku menyingkirkan koran itu (karena menurutnya bisa jadi menjadi penyebab aku sering batuk-batuk beberapa waktu lalu). Awalnya aku ingin memberikannya kepada Tunggul dan teman-teman yang membuat kerajinan dari koran di kampus. Akan tetapi akhirnya ada Aiko dan Bu Ming yang ternyata membutuhkan koran sebagai alas untuk tempat ekskresi anjing-anjing kesayangan mereka. Jadilah kemarin semua koranku yang 13 tumpukan (Maret 2008-Maret 2009) diambil dari tempatku.

tulisan ini berakhir di sini! bingung mau tulis apa lagi..


KGJ
30 September 2009
15:02

*: copy paste from my comment here

Wednesday, September 23, 2009

Berteologi (?)

Hari aku mengikuti kuliah Memimpin Ibadah. Kuliah ini diajar oleh Pak Rasid Rachman, dosen Liturgika yang juga pendeta di Gereja Kristen Indonesia. Setahu aku, Pak Rasid adalah ahlinya di bidang Liturgika. Setidaknya itu terbukti dari dirinya yang hanya memiliki gelar Master Theologia tetapi dipakai sebagai dosen Liturgika di sekolahku. Pengetahuannya sangat luas, lebih dari gelar yang dimilikinya.

Aku selalu terpesona dengan pengetahuan yang dimilikinya. Orangnya sederhana, penyampaian kuliah di kelas juga sederhana. Singkat, padat, jelas, dan to the point, tetapi sangat berisi.

Kuliah hari ini yang disampaikannya mengingatkanku lagi bahwa dalam segala hal yang berhubungan dengan Ibadah, kita harus memikirkan makna teologisnya. "Jemaat harus diajarkan mengenai arti teologis dari tiap unsur ibadah dan urutan ibadah, jangan hanya diberikan 'hasil jadi'. Itu tidak mendidik sama sekali."

Kuliah hari ini membuatku merasa bahwa diriku harus masih perlu banyak belajar. Aku terlalu banyak tidak mengetahui apapun.

Hal yang perlu aku pelajari: Liturgi Lima, Leksionari dan penggunaannya dalam membuat Pengakuan Dosa dan Kyrie(?), urutan-urutan liturgi secara logis sesuai dengan makna teologisnya.

Laptop Hans, Perpustakaan STT Jakarta
24 September 2009
10:15